Perajin Tahu Tempe Pakai Kedelai Kualitas Rendah, Efek dari Minimnya Produksi Lokal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak krisis telah menggangu ketersediaan sejumlah bahan baku tak terkecuali kedelai. Jumlah produksi kedelai dalam negeri yang begitu minim, diperparah dengan terganggunya pasokan dari luar negeri.

Dampaknya begitu terasa, saat ini industri yang menggunakan kedelai untuk bahan baku seperti industri tahu dan tempe terpaksa menggunakan kedelai berkualitas rendah untuk kebutuhan produksi. Ini dilakukan perajin tahu tempe untuk mengakali kondisi harga kedelai yang tinggi. 

Dalam penulusuran Kontan.co.id, saat ini harga kedelai di gudang importir berkisar Rp 11.000-12.000/kg. Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) Kementerian Pertanian, kebutuhan kedelai sekitar 2,9 juta/tahun. Namun sudah 25 tahun, impor kedelai rata-rata 86% dari total kebutuhan kedelai nasional.


Padahal, untuk konsumsi manusia haruslah menggunakan kedelai kualitas grade 1 ataupun 2. Bukannya kedelai dengan kualitas rendah grade 3,4,5 yang diperuntukkan untuk pakan ternak.

Baca Juga: Protes ke Kemendag, Perajin Tahu Tempe Gusar Kedelai Impor Kualitas Rendah Beredar

Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menanggapi perihal ini. Menurutnya, untuk produksi tahu dan tempe mesti menggunakan kedelai kualitas grade 1 ataupun 2. Namun, karena saat ini terjadinya perang antara Rusia dan Ukrania mengakibatkan harga kedelai melambung tinggi. 

"Mestinya tidak boleh ada praktik semacam itu, tapi para perajin tahu tempe diberikan harga grade 1 dan 2 terlalu tinggi. Apalagi kalau dijual tidak laku tempenya. Ini yang jadi masalah," kata Darori saat dihubungi Kontan.co.id, Senin(25/7).

Darori bilang bahwa hal ini berakar pada ketersediaan pasokan kedelai lokal yang dinilai masih rendah. Padahal, kebutuhan untuk produksi tahu dan tempe sangat tinggi.

Oleh karena itu, lanjut Darori, semestinya sekarang pemerintah segera bertindak untuk memperkuat produksi kedelai lokal dan melepas ketergantungan impor. Hal ini dapat dimulai dengan pemberian subsidi pasca panen bagi petani kedelai sehingga menggairahkan penanaman kedelai. 

Darori menceritakan bahwa untung dari bertani kedelai sangat kecil jika dibandingkan menanam komoditas lainnya seperti kacang hijau. 

Dalam satu hektare (ha), panen kedelai diperkirakan hanya memberikan keuntungan sebesar Rp 1 juta. Sedangkan, kacang hijau dalam satu hektare dapat menghasilkan keuntungan hingga Rp 5 juta.

Menurut Darori, subsidi pasca panen jauh lebih membantu menggairahkan gerakan tanam kedelai dibandingkan subsidi pupuk yang telah habiskan triliunan rupiah. Apalagi hanya menyediakan lahan untuk penanaman kedelai namun untung masih kecil.

Baca Juga: Sediakan Lahan 650.000 hektare, Kementan Berharap Bisa Kurangi Impor Kedelai

"Sebenarnya lahannya ada, tapi petani tidak berminat tanam kedelai. Jangan sampai rakyatnya dipaksakan sehingga hasil kurang maksimal," ujarnya.

Hal ini juga ditambah dengan masalah tata niaga impor kedelai yang mengizinkan aktivitas impor tanpa batas. Dalam hal ini, importir tidak dibatasi untuk membeli kedelai dan bebas mengambil kapan saja.

Menanggapi hal tersebut, Darori bilang bahwa dulunya aturan impor diizinkan apabila kebutuhan kedelai dalam negeri kurang. Namun, saat ini dalam Undang-Undang Cipta Kerja disebutkan bisa bebas mengimpor.

"Kapanpun sedang panen boleh impor, nah ini yang berbahaya. Pengalaman kami sebagai petani kentang di Dieng, saat panen malah masuk impor dari Pakistan dan China. Akhirnya menimbulkan demo dan impor dibatasi," terangnya.

Darori mengharapkan tindakan pemerintah menyikapi masalah ketersediaan pasokan kedelai. Sehingga tidak harus menunggu adanya potensi demo atas hal ini. Hal ini juga akan menjadi bahasan pihaknya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Agustus mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi