KULON PROGO. Ekspor, kerajinan buatan lokal dari bahan serat alam masih punya tempat di hati masyarakat Indonesia. Tidak sedikit warga negara asing juga menyukai kreasi kerajinan serat alam.Joko Santoso (45), perajin serat alam di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo mengaku, ia mulai mengekspor hasil karyanya ke kawasan Eropa sejak 1990-an. Ia pernah mendapat pelanggan yang berasal dari Inggris dan Prancis. “Mereka memang pedagang, jadi khusus ke Sentolo untuk cari kerajinan yang mau dijual di negara asalnya,” tuturnya.Sayang, penjualan ke pasar ekspor sempat terhambat akibat peristiwa Bom Bali pada 2002 dan 2005. Kebijakan travel warning yang dilakukan beberapa negara di Eropa menyebabkan pesanan kerajinan serat anjlok. Bahkan, hingga saat ini beberapa pelanggannya tak pernah lagi memesan produk ke kiosnya. Alhasil, omzetnya turun drastis dari sebelumnya Rp 100 juta sebulan, sekarang, rata-rata hanya bisa meraih omzet Rp 30 juta per bulan.Untuk menyiasati situasi itu, Joko beralih ke pasar lokal. Ia memasarkan produk kerajinan serat alam ke pasar-pasar di Yogyakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Untunglah, kini peluang di pasar ekspor kembali terbuka. Sejak akhir 2010, Joko kembali mendapat pesanan dari Malaysia, Jepang, dan Eropa. Dalam sebulan, ia bisa mengirim 1.000 - 2.000 item produk ke negara-negara itu. Namun, permintaan ekspor belum stabil. Joko pun tak mudah mendapatkan pelanggan dari luar negeri, lantaran tidak punya strategi pemasaran khusus. Padahal, ia menilai, kerajinan dari bahan serat alam lebih dihargai orang luar negeri. Ini tampak dari harganya. Ia bercerita, jika menawarkan produk di pasar lokal, masyarakat pasti menawar dengan harga serendah mungkin. Berbeda dengan orang asing yang membeli produk sesuai keinginan para pedagang. "Soalnya, orang bule melihat kerajinan serat ini sebagai barang seni, bukan fungsi," beber Joko.Ia berharap, Pemda Kulon Progo bisa membantu pemasaran produk kerajinan serat alam di Sentolo. Berbeda dengan Dian Ayu. Ia sejak awal fokus memasarkan kerajinan serat buatannya ke pasar lokal. Saban bulan, ia mengirimkan produk kerajinan serat alam ke Sumatera dan Kalimantan. Sekarang, ia hanya membuat kerajinan berdasarkan pesanan. Maklum, penjualan di toko membutuhkan waktu lama, berbeda dengan order yang sudah pasti terjual. Ibu dari dua orang anak ini mengaku, produknya pernah dibeli turis asing. "Tapi, sangat jarang ekspor. Saya belum bisa menembus pasar luar negeri," ucapnya.Dian juga sempat merasakan penjualan anjlok, yakni ketika gempa Yogyakarta pada 2006. Ia butuh waktu lama untuk memulihkan penjualan. “Saya baru berani bangun toko lagi dua tahun setelah gempa,” ujarnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Perajin tak mudah jangkau pasar ekspor (2)
KULON PROGO. Ekspor, kerajinan buatan lokal dari bahan serat alam masih punya tempat di hati masyarakat Indonesia. Tidak sedikit warga negara asing juga menyukai kreasi kerajinan serat alam.Joko Santoso (45), perajin serat alam di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo mengaku, ia mulai mengekspor hasil karyanya ke kawasan Eropa sejak 1990-an. Ia pernah mendapat pelanggan yang berasal dari Inggris dan Prancis. “Mereka memang pedagang, jadi khusus ke Sentolo untuk cari kerajinan yang mau dijual di negara asalnya,” tuturnya.Sayang, penjualan ke pasar ekspor sempat terhambat akibat peristiwa Bom Bali pada 2002 dan 2005. Kebijakan travel warning yang dilakukan beberapa negara di Eropa menyebabkan pesanan kerajinan serat anjlok. Bahkan, hingga saat ini beberapa pelanggannya tak pernah lagi memesan produk ke kiosnya. Alhasil, omzetnya turun drastis dari sebelumnya Rp 100 juta sebulan, sekarang, rata-rata hanya bisa meraih omzet Rp 30 juta per bulan.Untuk menyiasati situasi itu, Joko beralih ke pasar lokal. Ia memasarkan produk kerajinan serat alam ke pasar-pasar di Yogyakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Untunglah, kini peluang di pasar ekspor kembali terbuka. Sejak akhir 2010, Joko kembali mendapat pesanan dari Malaysia, Jepang, dan Eropa. Dalam sebulan, ia bisa mengirim 1.000 - 2.000 item produk ke negara-negara itu. Namun, permintaan ekspor belum stabil. Joko pun tak mudah mendapatkan pelanggan dari luar negeri, lantaran tidak punya strategi pemasaran khusus. Padahal, ia menilai, kerajinan dari bahan serat alam lebih dihargai orang luar negeri. Ini tampak dari harganya. Ia bercerita, jika menawarkan produk di pasar lokal, masyarakat pasti menawar dengan harga serendah mungkin. Berbeda dengan orang asing yang membeli produk sesuai keinginan para pedagang. "Soalnya, orang bule melihat kerajinan serat ini sebagai barang seni, bukan fungsi," beber Joko.Ia berharap, Pemda Kulon Progo bisa membantu pemasaran produk kerajinan serat alam di Sentolo. Berbeda dengan Dian Ayu. Ia sejak awal fokus memasarkan kerajinan serat buatannya ke pasar lokal. Saban bulan, ia mengirimkan produk kerajinan serat alam ke Sumatera dan Kalimantan. Sekarang, ia hanya membuat kerajinan berdasarkan pesanan. Maklum, penjualan di toko membutuhkan waktu lama, berbeda dengan order yang sudah pasti terjual. Ibu dari dua orang anak ini mengaku, produknya pernah dibeli turis asing. "Tapi, sangat jarang ekspor. Saya belum bisa menembus pasar luar negeri," ucapnya.Dian juga sempat merasakan penjualan anjlok, yakni ketika gempa Yogyakarta pada 2006. Ia butuh waktu lama untuk memulihkan penjualan. “Saya baru berani bangun toko lagi dua tahun setelah gempa,” ujarnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News