Peran Cukai dalam Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Lebih Sehat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlu diketahui bahwa tidak semua barang konsumsi yang beredar saat ini memberikan dampak positif terhadap kesehatan masyarakat.

Justru, sebagian dari barang konsumsi tersebut memiliki dampak buruk bagi kesehatan apabila konsumsinya tidak dikendalikan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah instrumen untuk mengendalikan barang konsumsi, salah satunya melalui instrumen cukai.

Saat ini, pemerintah sudah memberlakukan pengenaan cukai pada hasil tembakau. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan konsumsi rokok, mengawasi peredarannya hingga berperan dalam menurunkan prevalensi merokok.


Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kebijakan cukai hasil tembakau atau CHT pada 2022 diklaim dapat menurunkan konsumsi rokok sebesar rata-rata 3% per tahun.

Baca Juga: Wujudkan Generasi Bebas Obesitas dan Diabetes Lewat Instrumen Cukai

Tidak hanya mengendalikan konsumsi rokok, terbaru pemerintah juga berencana mengenakan cukai terhadap produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Pengenaan cukai atas MDK tersebut diharapkan bisa mencegah penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas hingga diabetes dengan mendorong produsen mengurangi kadar gula dalam produk mereka.

Maklum, prevalensi PTM di Indonesia terus mengalami peningkatan, seperti penyakit stroke, jantung dan diabetes. Bahkan, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), PTM menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia. 

Misalnya pada tahun 2001 proporsi angka kematian akibat PTM meningkat dari 49,9% menjadi 59,5% pada tahun 2007. Adapun, produk rokok dan gula menjadi faktor risiko PTM tersebut.

Oleh karena itu, pengenaan cukai terhadap produk rokok dan MBDK menjadi instrumen yang tepat apabila pemerintah benar-benar ingin serius menurunkan prevalensi PTM. Maklum, tanpa sadar, lambat laun kedua produk tersebut membuat konsumennya kecanduan sehingga muncul rasa keinginan untuk selalu mengonsumsinya secara berlebihan.

Baca Juga: Ini Dia Negara-Negara yang Sukses Menerapkan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan

Munculnya perilaku dan kebiasaan untuk mengonsumsi produk rokok dan minuman tinggi gula tidak terlepas dari faktor lingkungan. Sebut saja masih banyaknya iklan yang memasarkannya hingga mudahnya kedua produk tersebut didapatkan, seperti swalayan maupun kios.

Sebagai sebuah instrumen untuk pengendalian konsumsi, keberadaan cukai memang sangat penting terutama untuk mengendalikan konsumsi Barang Kena Cukai (BKC) yang berdampak buruk terhadap kesehatan.

Misalnya saja melalui kebijakan cukai rokok atau CHT. Hampir setiap tahunnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selaku otoritas melakukan kenaikan tarif CHT, seperti keputusan kenaikan tarif untuk rokok sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024. Kenaikan ini dimaksudkan untuk menurunkan prevalensi perokok anak serta meningkatkan target penerimaan cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kebijakan ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan turunnya prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024.

Baca Juga: PMI Manufaktur Agustus 2024 Turun Lagi, Ini Kata Menperin

Tidak hanya sebagai instrumen pengendali konsumsi, cukai juga berguna sebagai sumber penerimaan negara. Pemanfaatan penerimaan cukai hasil tembakau salah satunya dituangkan dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) CHT yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau tembakau.

Misalnya saja di bidang kesehatan, DBH CHT diprioritaskan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional terutama peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan di daerah.

Selain itu, jika berbicara mengenai cukai MBDK, sebetulnya rencana pengenaannya sudah diwacanakan sejak tahun 2020. Namun sampai saat ini tidak kunjung diimplementasikan dan kembali direncanakan pada tahun 2025 sebagaimana tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). 

Dengan adanya kebijakan cukai MBDK ini diharapkan industri makanan dan minuman (mamin) bisa mereformulasi produk MBDK yang lebih rendah gula. 

Setidaknya, ada dua sisi positif yang bisa diambil dari pengenaan cukai MBDK. Pertama, pungutan cukai MBDK bisa menekan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes. Kedua, penerimaan yang terkumpul dari pengenaan cukai juga bisa dimanfaatkan untuk membiayai kebutuhan pemerintah di sektor lain, mulai dari infrastruktur hingga layanan publik.

Baca Juga: Gapmmi Ingatkan Pentingnya Kolaborasi dalam Proses Penyusunan PP 28/2024

Saat ini, kampanye untuk mendorong penerapan cukai MBDK sudah semakin digalakkan oleh masyarakat, khususnya anak muda. Dengan begitu, langkah pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan cukai MBDK pada tahun depan merupakan langkah yang tepat, namun dengan tetap memastikan memulainya dengan tarif yang moderat dan mempertimbangkan keberlangsungan industri. 

Pengenaan cukai untuk mengendalikan konsumsi tentu tidak hanya terbatas terhadap produk rokok dan MBDK saja. Saat ini, pemerintah juga sudah mengenakan cukai terhadap etil alkohol (EA) dan minuman mengandung etil alkohol (MMEA).

Sama seperti rokok dan MBDK, konsumsi minuman beralkohol juga bisa memicu risiko kesehatan mental hingga muncul penyakit tida mual. Sebut saja, ketergantungan alkohol, kesulitan berkonsentrasi, hingga memicu penyakit kardiovaskuler hingga hepatitis.

Kesimpulannya, cukai merupakan instrumen yang sangat krusial dalam mengendalikan konsumsi, terutama untuk barang-barang yang berdampak buruk terhadap kesehatan. Bahkan, dalam hal ini pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi cukai terhadap produk-produk yang berbahaya apabila konsumsinya tidak kendalikan, seperti makanan siap saji. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli