Peran Indonesia dalam global value chain



Bagi para pelaku industri transportasi dan logistik, pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) bulan lalu menyiratkan gambaran ke mana arah perdagangan global ke depan.

Dari ajang tersebut ada dua hal utama yang harus diantisipasi dari arah perdagangan global. Pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi di regional Asia, khususnya Asia Timur. Hingga tahun 2017, negara Asia berkontribusi paling tinggi dalam pertumbuhan perdagangan global sebesar 8%, ketimbang rata-rata pertumbuhan perdagangan global sebesar 4%. China, Jepang dan India berkontribusi hampir seperlima dari seluruh perdagangan global sampai tahun 2017.

Tapi, data World Development Indicator Bank Dunia menunjukkan region Asia Timur mengalami perlambatan ekonomi, perdagangan dan investasi yang cukup signifikan dalam periode 10 tahun terakhir. Misalnya; sampai dengan 2010, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Asia Timur 9,8% per tahun dan menjadi 6,6% di tahun 2017. Arus masuk investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) menyusut dari 3,8% terhadap PDB pada 2010 menjadi 1,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2017. Biaya penelitian dan pengembangan (R&D) sebagai salah satu indikator tingkat inovasi, menyusut dari 57% terhadap PDB di tahun 2010 menjadi 47% di tahun 2017.


Walhasil, moderasi pertumbuhan ekonomi terlihat di dua negara dengan perekonomian terbesar di Asia. Pertumbuhan ekonomi China menyusut dari 10,6% di 2010 menjadi 6,7% di 2017. Sementara pertumbuhan ekonomi Jepang melambat dari 4,2% menjadi 1,7% pada periode sama. Dari sisi perdagangan, total impor Jepang menurun dari 20% terhadap PDB di tahun 2013 menjadi 15% di 2016. Sementara proporsi sama di China menurun dari 22% menjadi 18%.

Mengapa statistik ini penting? China dan Jepang adalah negara tujuan ekspor Indonesia pertama dan ketiga. Nilai ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut mencapai seperempat dari total ekspor Indonesia. Dengan demikian, kontraksi perekonomian di kedua negara ini dan negara Asia Timur akan berdampak langsung terhadap penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia ke depannya.

Kedua, perselisihan perdagangan mungkin akan menjadi hal yang normal (new normal). Perselisihan perdagangan ini tidak hanya terjadi di antara Amerika Serikat (AS) dan China, juga antara AS dengan beberapa negara lain. Seperti Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa, negara yang telah menjadi sekutu AS.

Kebijakan ini mengagetkan banyak mitra dagangnya. Pierre Marcovci menggambarkan bagaimana Prancis dan Jerman mulai gerah dengan ketergantungan dunia terhadap dollar AS sebagai anchor currency perdagangan global dan ingin Euro diberlakukan lebih luas di perdagangan Eropa dan mitra.

Sedikit mengkhawatirkan, Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo dalam sesi pertemuan Bank Dunia-IMF tidak memberikan sinyal tegas berapa lama sengketa ini berakhir dan kebijakan yang akan ditempuh. Sehingga sebagai small and open economy, disrupsi perekonomian di global tidak bisa dikontrol Indonesia. Hanya bisa mengantisipasi dengan baik.

Dari sisi domestik, nilai ekspor non migas Indonesia sampai 2017 sekitar US$ 153 juta, sementara sampai Agustus 2018 sekitar US$ 108 juta, 10% lebih tinggi dari periode sama tahun lalu. Produk utama ekspor kita yakni minyak nabati, mesin dan peralatan listrik serta karet dan olahannya. Lima komoditas impor utama kita adalah mesin, alat elektronik, plastik, besi baja dan bahan kimia organik.

Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan sejak tahun 2011 sampai saat ini. Bank Dunia memperkirakan defisit ini masih berlanjut sampai 2019 di kisaran 2,3%–2,4% terhadap PDB

Bagaimana karakteristik komoditas ekspor Indonesia? Jika berkaca data OECD, Indonesia salah satu negara dunia yang menikmati nilai tambah domestik terbesar dari setiap US$ 1 barang ekspor.

Cerita kontradiktif

Dari data OECD, setiap US$ 10 nilai ekspor Indonesia, sekitar US$ 8,8 (88%) nilai tambah domestik. Proporsi ini sangat tinggi jika dibandingkan negara lain. Seperti China (71%), India (79%), Malaysia (61%), Thailand (62%), dan Vietnam (63%). Tapi ada cerita kontradiktif, yakni rendahnya peranan Indonesia dalam pembentukan mata rantai nilai tambah global atau global value chain.

Global value chain menurut Hummels et al. (2001) adalah sebuah proses pembentukan nilai tambah atas suatu barang yang melibatkan tiga hal. Yakni proses produksi barang secara bertahap, terdapat dua atau lebih negara memberikan nilai tambah dan terjadi proses ekspor dan impor barang setengah jadi untuk proses produksi selanjutnya. Keterlibatan suatu negara dalam global value chain dapat dideteksi dengan indeks partisipasi.

Indeks partisipasi ini dipecah menjadi dua, yaitu partisipasi mundur (backward participation), menjelaskan kandungan nilai tambah negara lain dalam komoditas ekspor Indonesia. Dan partisipasi maju (forward participation), menggambarkan berapa kandungan nilai tambah Indonesia dalam ekspor suatu negara.

Ternyata, Indonesia memiliki partispasi maju cukup tinggi yang menjelaskan kita banyak mengekspor bahan setengah jadi yang kemudian diproses lebih lanjut di luar negeri. Namun partispasi mundur kita masih sangat rendah. Komoditas ekspor tidak memiliki keterkaitan dengan input negara lain. Contoh, kecilnya ekspor high-tech products kita dibandingkan negara ASEAN. Bank Dunia mendefinisikan sebagai komoditas dengan kandungan R&D tinggi meliputi produk komputer, mesin elektronika dan farmasi. Dan hingga 2016, Indonesia adalah negara dengan high-tech export paling rendah dibandingkan negara ASEAN lain dengan porsi 5,8% dari total ekspor manufaktur.

Coba lihat Filipina yang memiliki global value chain .tinggi. Lantaran jasa manufaktur elektronik (EMS) dan manufaktur semikonduktor (SMS) menyumbang 51% dari pendapatan ekspor negara.

Rendahnya partisipasi Indonesia dalam global value chain. juga berhubungan dengan rendahnya porsi penelitian dan pengembangan (R&D). Data Bank Dunia (2013) menunjukkan gross expenditure on R&D (GERD) per PDB kita cuma 0,8% di bawah Vietnam (0,37%), Thailand (0,44%), Singapura (2%) dan Filipina (0,4%).

Analisa global value chain penting untuk melihat perubahan dan pergeseran pola produksi, keterhubungan antarnegara dan kontribusi dari masing-masing negara dalam proses pembentukan nilai tambah suatu barang dan jasa. Global value chain. juga bisa menggambarkan spesialisasi, kualitas tenaga kerja, serta transfer teknologi.

Antisipasinya, Indonesia harus memiliki visi meningkatkan partisipasi dalam global value chain. Strategi ini juga akan mengurangi risiko terpuruknya neraca transaksi berjalan akibat sensitivitas terlalu tinggi terhadap perubahan harga komoditas dunia. Sesuatu yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir.•

Ibrahim Kholilul Rohman Kepala Riset Ekonomi Samudera Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi