Peran serikat karyawan di RUU BUMN



Konflik Serikat Karyawan (SK) BUMN dengan manajemen belakangan menunjukkan tensi meningkat. Terlihat dari sejumlah konflik yang terjadi seperti SK Iglas, SK Pertagas, SK Garuda, dan pada akhir Juni kemarin adalah SK Semen Indonesia dengan manajemen perusahaan semen pelat merah tersebut. Menyikapi eskalasi konflik hubungan industrial, perlu adanya revisi UU BUMN.

Bagi karyawan, UU BUMN Nomor 19 tahun 2003 sudah ketinggalan zaman. Untuk penguatan aspirasi karyawan mengenai model bisnis BUMN terbaik, hak karyawan yang diwadahi dalam SK sama sekali tidak mendapatkan peluang.

Tiga poin penting RUU BUMN yakni antisipasi bentuk holding dan super holding, penggantian direksi dan ketentuan anak usaha BUMN memang cukup penting. Namun perlu mempertimbangkan lagi satu isu, yakni mengakomodasi aspirasi serikat karyawan. Sebab serikat karyawan yang paling tahu operasional holding dan atau super holding serta kualifikasi calon direksi dan rencana pendirian anak usaha BUMN.


Ironis, ruang SK begitu dinafikan dalam UU BUMN saat ini. Tampak nyata kedudukan SK begitu termarginalisasi karena hanya disinggung dalam satu pasal dari total 95 pasal UU BUMN eksisting. Judul Bab IX Pasal 87 pun sebenarnya tidak menyinggung karyawan karena dibunyikan lain yaitu ketentuan lain-lain.

Momentum RUU BUMN ini sebetulnya ruang representatif bagi DPR untuk mewadahi aspirasi SK karena begitu khususnya kedudukan SK BUMN. Ruang SK BUMN bukan berada dalam lingkup UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan namun harus secara spesifik sebagai satu kesatuan dalam UU BUMN karena faktanya menjadi mitra strategis pada tingkat operasional. Analoginya seperti halnya UU BUMN yang berlaku khusus (lex specialist), namun juga bersanding UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang juga menjadi rujukan BUMN yang berbentuk PT.

Muara utama perselisihan serikat karyawan dan direksi terletak pada persoalan figur utama pengurus BUMN. Bagi BUMN, masa-masa kekosongan di jabatan menjadi lahan subur transaksional dan banyak sekali direksi bukan berasal dari karyawan karier, tapi karena kepentingan tertentu.

Akhir-akhir ini kekosongan direksi BUMN dan komisaris memunculkan pertanyaan mendasar dan kini liar. Apakah BUMN boleh dan diizinkan negara dalam keadaan kosong tanpa pucuk pimpinan dan juga pengawasn? Seperti apa kewenangan pejabat sementara dan antisipasi Kementerian BUMN?

Lihat saja saat ini terjadi kekosongan posisi dirut. Seperti di Pertamina sejak 20 April 2018, lantas Pertagas yang sejak 16 Mei 2018 tidak ada posisi nomor satu.

Kalaupun serikat karyawan memberi usulan nama direksi ke Kementerian BUMN pasti tidak dianggap. Karena jalur serikat karyawan tidak kompeten.

Berdasarkan ketentuan Kementerian BUMN, pemusatan karyawan berbakat menjadi direksi BUMN menjadi kewenangan Kementerian dengan memakai metode asesmen dan fit and proper. Ini ada di dalam Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan, dan Pemberhentian Anggota Direksi BUMN.

Sayang, aroma transaksional begitu kentara, karena pelaksanaannya ditentukan basis masukan pihak eksternal. Ada Surat Edaran (SE) No. S-147/MBU/02/2016 tanggal 25 Februari 2016 tentang penunjukkan enam lembaga profesional dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK) untuk memilih bakal calon Direksi BUMN.

Saat ini pemetaan bakal calon Direksi BUMN justru lengkap berada di tangan enam lembaga profesional yang sebetulnya konsultan psikologi, yaitu Assessment Center Indonesia PT Telekomunikasi Indonesia, Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, PT Bina Potensia Indonesia, PT Binaman Utama PPM, PT Daya Dimensi Indonesia dan PT Eshael Indonesia.

Memahami dinamika

Sebenarnya metode ini berisiko tinggi karena maju, mundur dan nasib BUMN terletak di tangan konsultan. Maka yang terjadi pemilihan calon Direksi BUMN yang sangat strategis hanya berlandaskan kemampuan kognitif dan akademik berdasarkan hasil ujian dan wawancara. Ironis, sebab lembaga profesional itu miskin pengetahuan teknis ke-BUMN-an dan tentu saja tidak mengetahui substansi budaya dan dinamika dalam organisasi BUMN.

Akhirnya, saat ini beredar kabar untuk menjadi direksi pada BUMN cukup mudah. Hanya perlu kenal dengan lembaga profesional tersebut dan mengetahui bagaimana trik menyelesaikan tes psikologi. Tragisnya lembaga tersebut juga melayani pelatihan untuk menyelesaikan soal menjadi bakal calon Direksi BUMN seperti joki dalam ujian masuk mahasiswa baru.

Dalam UU BUMN yang baru, hal ini harus diawasi DPR dengan mengakomodasi aspirasi SK. Munculnya Permen BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan, dan Pemberhentian Anggota Direksi BUMN sangat berlawanan dengan peraturan di atasnya yakni Inpres Nomor 8/2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas BUMN. Inpres 2005 mewajibkan setelah calon direksi diusulkan Kementerian BUMN, masih ada tahapan diuji tim penilai akhir (TPA) yang dipimpin Presiden.

Sejatinya, karyawan BUMN dan serikat karyawan bisa menjadi mitra penting untuk memberikan masukan kepada kandidat pemimpin BUMN masa depan dan pasti mengerti betul kebutuhan spesifik atau karakter pemimpin yang dikehendaki. Serikat karyawan lah yang memahami dinamika dan bisnis inti BUMN bersangkutan. Serikat karyawan punya kepentingan supaya BUMN tempat bekerja tidak terjebak alur transaksional yang merugikan.

Peran serikat karyawan menjadi penting, mengingat nilai BUMN saat ini demikian signifikan dan substansial karena total nilai asetnya pada 2017 mencapai Rp 7.212 triliun. Naik sangat tinggi dibanding tahun 2016 yang masih berada di posisi Rp 5.632 triliun. Target pendapatan BUMN tahun ini juga berat di tengah pelemahan ekonomi Indonesia, yakni harus mendapatkan Rp 2.200 triliun dan laba bersih konsolidasi sekitar Rp 215 triliun.

Tidak berlebihan apabila RUU BUMN adalah harapan serikat karyawan dan harus menjadi pertimbangan DPR bahwa aspirasi serikat karyawan bisa diakomodasi. Jika serikat karyawan terlibat, maka jaminan pengelolaan BUMN yang baik akan lebih dijaga dengan tetap melaksanakan prinsip yang disepakati. Seperti profesional, efisien, transparan, mandiri, akuntabel, bertanggung-jawab dan wajar.

Saat ini memperoleh tujuh prinsip dasar tata kelola operasional dan manajerial BUMN itu seperti mencari jarum dalam jerami. Yang ada adalah pengelolaan yang buruk dan asal-asalan karena BUMN menjadi lahan mengambil keuntungan. BUMN saat ini seolah masuk dalam rezim satu ke rezim yang lain. Semoga dengan adanya RUU BUMN menjadi awal kebaikan BUMN dengan melibatkan serikat karyawan.•

Effnu Subiyanto Sekretaris Umum Serikat Karyawan Semen Indonesia (SKSI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi