KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tampak tidak terlalu cemas dengan adanya potensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, meski ada, dampak yang dirasakan Indonesia tidak secara langsung dan tidak selalu negatif. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, dalam hal ini, tidak mengherankan apabila AS memberlakukan proteksi tinggi terhadap produk besi-baja mereka dari China yang produksi besi-baja-nya
hyper competitive. Sebab, untuk AS, industri baja dianggap sebagai industri sensitif. Menurutnya, pemerintah juga tak perlu terburu-buru mengambil sikap. Namun, pemerintah bisa mempersiapkan langkah yang harus diambil.
Menurut Shinta, dalam hal ini, Indonesia perlu memetakan kepentingan. Di satu sisi, industri hilir baja memerlukan impor untuk kelangsungan produksi. Namun, di sisi lain, peluang pasar untuk industri baja yang baru diinvestasikan juga perlu dijaga. “Untuk itu, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah meningkatkan efisiensi produksi besi-baja nasional dengan menekan harga energi untuk industri,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Minggu (25/3). Kedua, menurut Shinta, pemerintah perlu melakukan kontrol atau audit terhadap impor besi-baja, khususnya dari China dan AS. Apakah jenis dan jumlahnya memang sesuai kebutuhan atau tidak. “Jangan sampai ada permainan kartel impor. Perlu juga diwaspadai apakah kedua negara tersebut melakukan dumping terhadap Indonesia karena ini dapat mengganggu persaingan harga besi-baja produksi nasional dan merugikan investasi hulu besi-baja yang sedang kita kembangkan,” jelasnya. Ada beberapa alasan menurut dia, Indonesia tak bisa ikut-ikutan melakukan proteksi seperti yang dilakukan AS dan China. Alasan pertama, Indonesia masih belum bisa memproduksi berbagai jenis baja dan alumunium untuk menyuplai seluruh kebutuhan industri menengah dan lanjutan dari besi dan alumunium, khususnya industri otomotif, bahan baku infrastruktur, dan lain-lain. Kekeringan pasokan ini masih sangat besar, yakni sekitar 20-40% kebutuhan konsumsi besi-baja-alumunium nasional. “Inilah alasannya pemerintah membuka peluang investasi besar untuk industri hulu besi-baja-alumunium yang saat ini investasinya sedang dilaksanakan antara Krakatau Steel dengan Jepang dan Korea,” ujar dia Kedua, industri besi-baja-alumunium Indonesia juga masih belum bisa memproduksi barang dengan harga yang kompetitif karena harga energi yang tinggi. Akibatnya, produksi besi-baja-alumunium Indonesia masih lebih mahal 15%-20% di atas harga internasional.
Ini menyebabkan seluruh rantai produksi nasional yang merupakan turunan dari industri besi-baja-alumunium atau industri yang menggunakan besi-baja-alumunium, seperti industri otomotif menjadi ikut tidak kompetitif. Ketiga, Industri besi-baja-alumunium Indonesia masih belum bisa memproduksi beberapa jenis besi-baja spesifik seperti besi-baja ringan dan tipis dengan ketahanan tinggi yang diperlukan oleh industri otomotif. Kalaupun diproduksi oleh Krakatau Steel, menurut Shinta, jumlah produksinya terbatas dan lebih mahal dari harga psar internasional. “Ketiga faktor ini menyebabkan Indonesia tidak bisa secara irasional meningkatkan proteksi atau batasan impor besi-baja-alumunium karena ini secara tidak langsung akan membunuh industri turunan besi-baja-alumunium,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia