Perang dagang dan Huawei membuat China harus memikirkan kembali hubungan dengan AS



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Keputusan Amerika Serikat untuk mengenakan tarif pada produk buatan China dan menempatkan pembuat ponsel pintar Huawei dalam daftar hitam dinilai telah sangat merusak kepercayaan antara kedua negara.

Pengamat menilai, langkah keras Presiden AS Donald Trump ini telah memaksa China untuk melihat kembali seluruh hubungan ekonomi bilateral dengan negara tersebut demi melindungi kepentingannya sendiri.

Tiongkok masih terbuka untuk memulai kembali perundingan guna mengakhiri perang dagang. Tetapi pemerintah kini juga menyoroti risiko sumber pasokan dari AS, terutama setelah keputusan untuk menempatkan Huawei dan afiliasinya dalam daftar larangan perdagangan.


Perdagangan gas alam pernah dipandang oleh Beijing sebagai daerah di mana ikatan kedua negara dapat dengan mudah ditingkatkan. Pasalnya AS memiliki cadangan gas alam yang signifikan untuk dijual, sementara permintaan China pada sumber energi bersih telah mengalami lonjakan.

Ketika Donald Trump mengunjungi Beijing pada tahun 2017, salah satu kesepakatan terbesar yang disepakati adalah pendanaan China untuk proyek gas alam di Alaska senilai US$ 43 miliar.

Namun Wang Yongzhong, seorang pakar dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok menilai gagasan bahwa China harus membeli gas alam dalam jumlah besar dari AS harus ditinjau kembali. "Tiongkok mungkin harus membatasi pasokan dari AS sebesar 10% sampai 15% dari impor gas alam demi keamanan rantai pasokan," kata Wang.

"Bagaimana jika pasokan energi, termasuk gas alam cair dan minyak mentah tiba-tiba terputus, seperti yang telah kita lihat dalam kasus Huawei?" lanjut dia.

Ketergantungan China pada produk-produk energi AS pada saat ini masih terbatas karena hanya membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar pada tahun 2017. Jumlah itu setara dengan 3,6% dari impor energi yang dilakukan Tiongkok.

Meningkatnya tarif perdagangan AS dan daftar hitam Huawei juga telah memperkuat keyakinan bahwa Beijing harus bergantung pada dirinya sendiri untuk teknologi dan sumber daya utama lainnya.

Amerika Serikat di sisi lain juga dinilai lebih menginginkan kemunduran China daripada kesepakatan yang adil. "Tujuan akhir dari Washington adalah untuk memaksa China melepaskan perkembangannya daripada mencapai perdagangan bilateral yang seimbang," kata Jin Canrong, profesor hubungan internasional dari Renmin University of China.

Editor: Tendi Mahadi