Perang dagang dan kenaikan suku bunga AS masih akan menekan rupiah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat rentan tertekan dalam beberapa waktu ke depan lantaran ekskalasi perang dagang antara AS-China yang meningkat dan kenaikan suku bunga acuan AS. Di sisi lain, belum ada data ekonomi dalam negeri yang benar-benar mampu menopang pergerakan rupiah.

Sebagai informasi, Jumat (24/8) lalu, kurs rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,08% ke level Rp 14.649 per dollar AS. Ini merupakan level terburuk sejak September 2015 silam. Rupiah pun telah melemah 8,07% secara year to date (ytd) di hadapan dollar AS.

Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, faktor eksternal masih menjadi penyebab utama koreksi rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Khusus beberapa hari terakhir, rupiah terperosok akibat peningkatan tensi perang dagang antara AS dan China.


Hal ini terjadi setelah perundingan yang dilakukan oleh kedua negara tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga timbul ketidakpastian di kalangan pelaku pasar. Alhasil, hampir seluruh mata uang negara emerging market tertekan.

Di sisi lain, dollar AS kian perkasa berkat risalah Federal Open Market Committee tengah pekan lalu yang menyatakan The Fed tetap konsisten untuk menaikkan suku bunga acuan AS. Padahal, kebijakan ini sempat dikritik oleh Presiden AS, Donald Trump.

“Para pelaku pasar tidak mempermasalahkan kritik tersebut karena The Fed bergerak secara independen,” kata Enrico, Jumat lalu.

Sial bagi rupiah, sejumlah data ekonomi dalam negeri tidak menunjukkan hasil yang positif. Seperti data defisit transaksi berjalan yang melebar hingga 3% pada kuartal II silam dan neraca perdagangan bulan Juli yang defisit US$ 2,03 miliar. Ini yang membuat rupiah mudah terjerembab hingga mencapai level Rp 14.600.

Padahal, masih ada beberapa mata uang regional yang tingkat pelemahannya tidak separah rupiah. Misalnya, ringgit Malaysia dan bath Thailand yang masing-masing hanya melemah 1,53% (ytd) dan 0,21% terhadap dollar AS sejak awal tahun. Begitu pula dengan dollar Singapura yang baru melemah 2,22% (ytd) terhadap dollar AS.

“Semakin besar tingkat defisit transaksi berjalan dan neraca dagang, investor jadi tidak percaya diri untuk pegang rupiah,” imbuh Ahmad Mikail, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia.

Mengingat penetapan kenaikan suku bunga acuan AS semakin dekat, Mikail menilai rupiah masih berpotensi melemah dalam jangka pendek.

Sementara untuk jangka panjang, efek dari kenaikan suku bunga acuan AS dan kelanjutan perang dagang masih akan menjadi isu utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah. Memang, ada sejumlah sentimen lain yang bisa muncul secara tak terduga, seperti krisis keuangan Turki dan dampak kebijakan moneter bank-bank sentral di negara maju selain AS.

Namun, pengaruh sentimen tersebut terhadap rupiah tidak terlalu besar dan tidak secara berkelanjutan. Pasalnya, jumlah utang luar negeri Indonesia mayoritas berdenominasi dollar AS. Alhasil, hal-hal yang mempengaruhi pergerakan dollar AS akan menular pada rupiah.

Baik Mikail dan Enrico sama-sama memproyeksikan rupiah berada di kisaran Rp 14.600-Rp 14.700 pada akhir 2018 nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie