KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bertepatan dengan Hari H perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, mayoritas bursa saham justru menghijau. Jumat (6/7), Dow Jones Industrial Average naik 0,41% ke 24.456,48. Indeks S&P 500 naik 0,85% ke 2.759,82, dan Nasdaq Composite menguat 1,34% ke 7.688,39.
Sementara pada penutupan kemarin sore, mayoritas bursa saham Asia naik hampir setengah persen dipimpin oleh
rebound saham China. Tanda-tanda kegelisahan justru nampak pada mata uang terhadap dollar AS. Seperti yen Jepang dan franc Swiss terhadap dollar.
Isabelle Mateos y Lago,
Chief Multi Asset Strategist BlackRock Investment Institute mengatakan, investor telah memangkas eksposur pada aset berisiko. Ahli Strategi Bank of America Merrill Lynch dalam riset Jumat (6/7) juga menegaskan, investor telah menarik uang dari pasar negara berkembang dan ekuitas Eropa lebih cepat yakni dalam dua bulan terakhir. Langkah ini lebih cepat dari apa yang dilakukan Eropa pada tahun 2016.
Sejatinya, ancaman tarif telah berefek besar pada pasar ekuitas dan mata uang dalam sepekan terakhir. Ini nampak pada nilai tukar pada euro terhadap dollar AS, telah jatuh ke terendah sebulan sepekan terakhir. "Kami memasuki periode ketidakpastian yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Meskipun saat ini volatilitas pasar sangat membingungkan," kata Neil Mellor, Ahli Strategi Mata Uang Senior BNY Mellon,
Barang China yang menjadi sasaran antara lain alat bajak, bahan semikonduktor dan komponen pesawat. Baru juga dimulai pengenaan tarif impor US$ 34 miliar. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam menambah jumlah barang yang akan menjadi sasaran pengenaan tarif.
Ini terjadi jika ada balasan dari China. Trump menegaskan, sekitar US$ 500 miliar barang impor China akan menjadi sasaran baru. Rencana Trump menambah daftar barang yang akan menjadi target menaikkan suhu panas pada perang dagang.
Kondisi ini membuat tembaga sebagai barometer kekuatan ekonomi dunia Jumat jatuh ke level terendah satu tahun di US$ 6.221,5 per ton.
Sebelumnya China sudah mengatakan, jika akan menanggapi tarif impor dengan pengenaan tarif yang tak jauh beda. Penasihat Bank Sentral China, Ma Jun mengatakan, pengenaan tarif AS senilai US$ 50 miliar barang China akan mencukur 0,2
percentage point pertumbuhan China.
Sementara itu, ekonom pasar memperkirakan, setiap US$ 100 miliar barang impor yang terpengaruh atas kenaikan tarif akan berefek pada 0,5% dari perdagangan global. Sementara itu pada pertumbuhan ekonomi China di 2018 akan mempengaruhi 0,1%–0,3% dan sedikit lebih rendah pada pertumbuhan AS. "Semakin besar ukuran (impor menghadapi tarif), semakin besar dampak pada PDB," kata Aidan Yao, Ekonom Senior Emerging Asia AXA Investment Managers di Hong Kong. Selain itu menurut dia ada efek sekunder lainnya seperti kepercayaan investasi dan rantai pasokan global.
Indonesia sendiri tak tinggal diam. Pemerintah tengah mengkaji barang-barang yang akan kena efek perang dagang. Kajian ini dilakukan antar kementerian/lembaga.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi komoditas apa saja yang bakal terdampak perang dagang. Hasil identifikasi ini akan disampaikan ke rapat kabinet. Daftarnya ada banyak, kata Oke di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (6/7).
Meski enggan menyebut jumlahnya, Oke mengatakan, Kementerian Perdagangan telah melakukan simulasi dampak dari perang dagang itu ke tiga komoditas. Yang disimulasikan cuma dua sampai tiga komoditas. Cuma simulasi. Nanti diputuskan seperti apa, ujar dia .
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adrianto mengatakan, Kemkeu mempelajari barang-barang yang kena efek perang dagang oleh AS. Secara produk, saat ini kami lihat mungkin baja, tapi tak menutup produk lain," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati