Perang harga bikin minyak tenggelam



JAKARTA. Selain permintaan tengah melemah, harga minyak semakin murah akibat perang harga (Harian KONTAN, 3 Desember 2014). Yang terbaru, Arab Saudi kembali memberikan harga diskon kepada para pelanggannya demi mempertahankan pangsa pasar. Harga minyak minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent tergelincir.

Mengutip data Bloomberg, Jumat (5/12), pukul 16.05 WIB, harga minyak WTI pengiriman Januari 2015 di New York Merchantile Exchange terpeleset 0,82% dibandingkan hari sebelumnya menjadi US$ 66,26 per barel. Koreksi harga ini sudah berlangsung selama sepekan lalu. Sejak akhir tahun 2013, harga minyak WTI sudah tergelincir 37%.

Sedangkan kemarin, harga minyak Brent di ICE Futures Europe pengiriman Januari 2015 turun ke level terendah empat tahun di US$ 69,26 per barel. Sejak akhir tahun lalu, harga brent sudah terjun 34,59%. Bulan depan, perusahaan BUMN, Saudi Arabian Oil Co memangkas penjualan Arab Light ke Asia sebesar US$ 2 per barel di bawah harga pasar. Itu merupakan harga terendah dalam 14 tahun.


Daniel Yergin, analis energi dan pemenang Pulitzer, mengatakan, kerajaan Arab Saudi tak ingin memberi subsidi kepada Iran, Irak, dan Venezuela dan membiarkan harga ditentukan mekanisme pasar. “Tampaknya Arab Saudi mendapatkan apa yang diinginkan. Kita akan melihat harga terus berada di bawah tekanan,” ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group di Chicago kepada Bloomberg.

Zulfi rman Basir, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan, kebijakan Arab Saudi kembali menurunkan harga jual minyak di pasar Asia dan Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor penting penurunan harga minyak mentah saat ini. Arab Saudi tengah berupaya mempertahankan pangsa pasarnya di tingkat global.

Daripada kehilangan pasar, Arab Saudi memilih menurunkan kembali harga minyak miliknya. Sementara negaranegara non-OPEC seperti Rusia dan AS tetap mempertahankan produksi minyak. “Ini menyebabkan terjadinya oversupply minyak di pasar,” kata Zulfi rman.

Oversupply ini salah satunya juga didorong oleh keputusan OPEC yang memutuskan tetap memproduksi minyak 30 juta barel per hari dalam pertemuan November 2014 lalu. Padahal permintaan minyak sedang lesu. Perlambatan ekonomi China dan Zona Eropa menyebabkan permintaan minyak menurun.

Minyak yang diperdagangkan dalam mata uang dollar AS semakin tak berdaya karena dollar terus menguat. Kenaikan indeks dollar AS mengurangi daya tarik investor pada komoditas seperti minyak.

“Tidak heran harga minyak terlempar ke titik terendah sejak lima tahun lalu,” tambah Zulfi rman.

Musim dingin

Sejatinya harga minyak bisa terkerek akibat berlangsungnya musim dingin. Apalagi jika musim dingin berlangsung panjang. Tapi Tonny Mariano, Analis PT Harvest International Futures menuturkan, harga minyak masih dalam tren turun.

Meski saat ini di AS, Eropa dan Australia tengah memasuki musim dingin, lonjakan permintaan minyak belum tampak. “Minyak perlu mencatatkan penutupan harga di atas level US$ 75 per barel untuk mengonfirmasi tren naik (bullish),” tutur Tonny.

Apalagi data tenaga kerja AS diprediksi positif. Penambahan tenaga kerja di luar sektor pertanian (nonfarm payrolls AS) pekan lalu diperkirakan sebesar 231.000 pekerja. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar 214.000 pekerja.

Secara teknikal Zulfirman memaparkan, harga minyak mentah berada di bawah moving  average (MA) 50,100, dan 200 harian. Ini mengindikasikan bahwa harga minyak masih dalam tren bearish.

Sedangkan indikator stochastic berada di level 25, dengan indikasi jenuh jual (oversold) sebagai potensi untuk bargain hunting.

Relative  strength  index (RSI) juga oversold dengan potensi bargain  hunting di level 28. Terakhir, garis moving average convergence divergence (MACD) di level minus 2,78 dengan indikasi turun menuju bearish.

Sepekan ke depan Firman memprediksi, harga minyak bergerak di kisaran US$ 62 sampai US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga minyak berada di US$ 65 per barel.

Sedangkan Tonny menebak harga minyak sepekan bakal bergerak di level US$ 63-US$ 70 per barel. Hingga akhir tahun, harga berkisar di US$ 60–US$ 75 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan