KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Pakarsa menilai bahwa pemberian insentif pajak yang terlalu royal hanya akan menguntungkan perusahaan multinasional saja. Peneliti The Pakarsa, Bintang Aulia Lutfi mengatakan, rendahnya rasio penerimaan pajak di negara-negara ASEAN salah satunya karena banyaknya kelonggaran pajak yang diberikan bagi perusahaan untuk memuluskan investasi asing. "Beberapa negara ASEAN bahkan cenderung memperpanjang periode libur pajak 2 hingga 5 tahun. Kemudian terdapat penurunan rata-rata tarif minimum pajak (Corporate Income Tax/CIT) dari 0,85% menjadi 20,85%," ujar Bintang dalam keterangan resminya, Selasa (19/6).
Menurutnya, pemberian insentif pajak bagi perusahaan tidak cukup mempercepat pemulihan ekonomi. "Meskipun negara-negara di ASEAN membutuhkan Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemulihan ekonomi, mengandalkan insentif pajak perusahaan saja tidak cukup," katanya.
Baca Juga: Kemenkeu Klaim Fasilitas Kepabeanan Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Ini Kata Ekonom Bintang menyoroti bahwa ketergantungan berlebihan negara-negara ASEAN pada insentif pajak dapat menciptakan fenomena “race to the bottom”, di mana negara-negara berlomba-lomba menawarkan insentif pajak lebih besar kepada perusahaan, pada akhirnya hanya menguntungkan perusahaan multinasional. “Banyaknya pelonggaran pajak justru akan merugikan negara, karena perusahaan dapat dengan mudah memindahkan induk usahanya ke negara dengan tarif yang lebih rendah atau insentif yang lebih menguntungkan,“ imbuh Bintang. Negara-negara ASEAN yang cenderung menggunakan instrumen insentif pajak demi menarik investor asing justru akan merugikan negaranya. Pada tahun 2021, rata-rata pendapatan pajak ASEAN hanya sebesar 14,46% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di kawasan ASEAN, jumlah ini hanya separuh dari rata-rata pendapatan pajak negara-negara OECD, yang mencapai 34,11%. Sementara itu, Ekonom Senior Faisal Basri menekankan bahwa tidak masalah jika terdapat kompetisi antar negara ASEAN dalam menarik investasi masuk, namun jangan sampai kompetisi yang terjadi bersifat mengeliminasi. "Mari bersaing namun jangan saling mengeliminasi," kata Faisal.
Baca Juga: Bea Cukai Klaim Pemberian Fasilitas Kepabeanan Mampu Pacu Pertumbuhan Ekonomi Selain itu, Faisal juga menjelaskan bahwa pada dasarnya investor tidak tertarik dengan insentif pajak, namun pertimbangan investor ada pada sektor yang menarik minat mereka untuk berinvestasi. Dalam konteks ini, Faisal menyebut Indonesia memiliki posisi tawar yang baik, karena kepemilikan atas sumber daya alam (SDA) yang melimpah. “Jika ada sektor yang potensial di Indonesia maka mereka (investor) akan datang, investor datang ke Indonesia karena SDA banyak di Indonesia,” jelasnya.
Menurut Faisal, ASEAN adalah suatu organisasi yang sangat beragam. Singapura dan Brunei Darussalam adalah negara-negara yang punya PDB tinggi dengan populasi rendah, sedangkan Indonesia dan Myanmar kaya SDA, Thailand dan Myanmar kuat di pertanian dan UMKM.
Baca Juga: Bank Dunia Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 5% “Sulit melihat pajak sebagai faktor demoninator, negara-negara dengan SDA yang kaya, mereka tidak perlu menerapkan insentif karena SDA kita banyak,” imbuh Faisal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli