KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT AXA Financial Indonesia (AFI) angkat bicara mengenai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mewajibkan perasuransian perlu membentuk Medical Advisory Board (MAB) atau Dewan Penasihat Medis (DPM). Asal tahu saja, sebelumnya perusahaan perasuransian diwajibkan memiliki Dewan Penasihat Medis yang tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Adapun perusahaan bisa membentuk Dewan Penasihat Medis secara sendiri, gabungan dengan perusahaan lain, maupun lewat alternatif lain. Namun, SEOJK itu resmi ditunda dan OJK sedang menggodok aturan yang lebih rinci mengenai ekosistem asuransi kesehatan yang akan tertuang dalam bentuk Peraturan OJK (POJK).
Baca Juga: Pemerintah Tetapkan Bunga KUR Flat 6%, Ini Dampak ke Industri Penjaminan Mengenai hal itu, Presiden Direktur AXA Financial Indonesia Niharika Yadav mengatakan kemungkinan besar AXA Financial Indonesia akan memilih untuk berkolaborasi dengan pihak ketiga atau Third Party Administrator (TPA). "Kami berpikir untuk berkolaborasi dengan Third Party. Sebab, TPA akan membawa lebih banyak keahlian kepada kami, lebih banyak akses kepada kami. Kami bisa menggunakannya untuk second opinion, serta memastikan langkah medis yang dilakukan kami kuat. Kami sedang mempersiapkan untuk itu," ujarnya saat wawancara eksklusif dengan Kontan, Selasa (18/11/2025). Niharika menerangkan TPA memiliki kelebihan, yakni memiliki banyak doktor dan pakar medis. Dengan demikian, AFI berkolaborasi dengan TPA bukan hanya untuk memenuhi regulasi yang akan berlaku, melainkan dapat berdampak positif juga bagi pelayanan nasabah. Lebih lanjut, Niharika bilang, adanya MAB akan membantu perusahaan asuransi dalam menganalisis klaim risiko. Selain itu, memiliki pakar yang berasal dari pihak luar juga akan membantu perusahaan dalam mengambil keputusan, sehingga kontrol klaim menjadi lebih kuat. Niharika berpandangan adanya MAB juga bagus untuk ekosistem kesehatan, yang mana dapat
challenge atau melakukan
review perawatan dari pihak rumah sakit apabila ada hal yang tak sesuai. "Saya pikir MAB itu bagus karena bisa membantu perusahaan asuransi atau dalam kata lain back-up dalam mengambil keputusan. Mereka (MAB) tentu memiliki pengetahuan medis dan standar dalam pengobatan," tuturnya. Niharika menerangkan, apabila nasabah tetap mengikuti saran dari pihak rumah sakit, pihaknya akan tetap membayarkan klaim untuk pengobatan. Dengan catatan, jika rumah sakit tersebut juga menerapkan
clinical pathway dalam layanan medis sehingga perawatan yang didapatkan nasabah bisa sesuai.
Baca Juga: Jamkrindo Perkuat Pemberdayaan UMKM dan Keadilan Restoratif "Tentu komitmen kami membayar klaim nasabah. Namun, jika rumah sakit belum menerapkan
clinical pathway, tentu akan memiliki masalah. Misalnya, sakit gigi, tetapi malah melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI), kami akan
challenge rumah sakit itu. Oleh karena itu, penting memahami
clinical pathway dan kolaborasi dengan rumah sakit," katanya. Terkait Dewan Penasihat Medis, Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono sempat menyampaikan ada beberapa tugas yang akan dijalankan DPM. Salah satu tugasnya adalah memberikan nasihat kepada perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah untuk mendukung pelaksanaan telaah utilisasi.
Selain itu, memberikan masukan terkait pelayanan kesehatan, termasuk perkembangan baru layanan medis, serta rekomendasi kepada perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News