Peraturan mendag turunkan produksi timah



JAKARTA. Asosiasi Tambang Timah Indonesia (ATTI) memproyeksikan produksi timah nasional pada tahun ini akan menyusut menjadi 38.000 ton hingga 57.000 ton. Jumlah tersebut turun antara 40% sampai 60% dibandingkan dengan realisasi produksi tahun lalu sebesar 95.000 ton.

Penyebab utamanya ialah mulai berlakubta pembatasan ekspor timah batangan, yakni dengan kadar Stannum (Sn) minimal sebesar 99,99%, dari sebelumnya dengan batasan kadar Sn 99,85%. Ketetapan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah yang efektif per 1 Juli 2013.

Hidayat Arsani, Presiden ATTI mengatakan, sejatinya produsen swasta telah siap untuk menerapkan aturan tersebut. "Namun, meskipun unit pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) kami sudah siap, namun pengerjaan prosesnya membutuhkan waktu yang lebih lama," kata Hidayat kepada KONTAN, Selasa (2/7).


Menurut Hidayat, proses pemurnian kadar Sn 99,85% membutuhkan waktu sekitar delapan jam, namun kadar Sn 99,9% akan membutuhkan proses hampir sehari penuh. Alhasil, lamanya proses tersebut akan membuat pengusaha kesulitan mengoptimalkan kapasitas produksi. Hidayat mencontohkan, jika tahun lalu produksi perusahaan timah anggota ATTI mencapai 10.000 ton per tahun, dengan aturan pembatasan ini, pihaknya pun kesulitan untuk mencapai produksi lebih dari 5.000 ton.

Agung Nugroho, Corporate Secretary PT Timah Tbk mengatakan, pihaknya menyambut positif aturan ini. Perusahaan pelat merah ini pun sudah sejak tiga tahun silam memproduksi timah dengan kadar Sn minimal 99,9%. "Kami berharap pemerintah betul-betul secara tegas memberlakukan peraturan ini," ujar dia.

Agung mengatakan, kebijakan baru ini tentunya tidak akan mempengaruhi target perusahaannya untuk memproduksi logam timah sebanyak 29.000 ton pada tahun ini. Sebab, hampir 95% produksi timah perusahaan tersebut dipasarkan untuk kebutuhan ekspor. Baru sisanya dijual ke pasar domestik.

Menurut Agung, pembatasan ini justru akan memberikan dampak positif, yakni dapat menurunkan pasokan timah di pasar sehingga pada akhirnya mampu mendongkrak harga jual timah di pasar internasional.

Maklum saja, harga jual logam timah di sepanjang semester pertama tahun ini masih tetap rendah, yakni US$ 20.000 per ton.Dengan adanya penurunan produksi nasional ini, Agung optimistis, harga timah akan mencapai US$ 23.000 per ton sebagaimana terjadi di tahun 2011 lalu. "Kami berharap harga akan bergerak naik mulai Juli ini," kata dia.

Menunggu Koba TinSementara itu, PT Timah Tbk maupun Malaysia Smelting Corporation Berhad (MSC), dua perusahaan pemilik PT Koba Tin, kini tengah harap-harap cemas menunggu keputusan pemerintah terkait status kontrak karya (KK) perusahaan itu.

Sedianya, batas waktu Koba Tin untuk menggarap areal pertambangan timah di Bangka Belitung seluas 41.510 ha sudah habis pada 30 Juni lalu.Meskipun sama-sama menunggu, namun harapan kedua perusahaan tersebut saling berbeda. Sebagai pemilik saham minoritas sebanyak 25% saham, PT Timah ingin kontrak Koba Tin tidak diperpanjang dan selanjutnya pengelolaan konsesi tersebut diserahkan ke pihaknya selaku perusahaan pelat merah.

PT Timah berharap dapat mengelola smelter milik Koba Tin dengan kapasitas 18.000 ton per tahun. "Kami masih menunggu keputusan pemerintah. Kami juga siap mempertahankan 2.000-an karyawan Koba Tin," kata Agung.

Sementara, MSC selaku pemilik mayoritas, berkeinginan pemerintah memperpanjang KK Koba Tin hingga 2023 mendatang. "Kami tetap menunggu ketetapan pemerintah terhadap usulan proposal perpanjangan KK Koba Tin," kata Sharifah Faridah AR, Company Secretary MSC dalam keterangan tertulisnya.

Sekadar mengingatkan, tim independen telah menyerahkan hasil evaluasi status KK Koba Tin kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, hingga saat ini, hasil rekomendasi belum diputuskan oleh Menteri ESDM.                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini