JAKARTA. Sejak menjabat pada akhir Oktober 2014 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti telah menerbitkan sejumlah peraturan menteri. Peraturan baru tersebut ternyata menimbulkan sejumlah kontroversi dan penolakan dari sebagian nelayan dan pelaku usaha perikanan di tanah air.
Salah satu peraturan terbaru yang diundangkan pada 7 Januari 2015 lalu adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1/permen-kp/2015 tentang larangan penangkapan lobsters (Panulirus sp), kepiting (Scylla spp) dan rajungan (Portunus pelagicus spp). Dalam pasal 2 Permen No.1 2015 ini ditegaskan setiap orang dilarang melakukan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur.
Demikian juga dalam pasal 3 dilarang menangkap lobseter di bawah 8 cm, kepiting di bawah ukuran lebar karapas lebih kecil dari 15 cm dan rajungan dengan ukuran lebar karapas di bawah 10 cm. Tanpa ada sosialisasi yang lama, aturan ini langsung diberlakukan saat diundangkan.
Hasilnya, Badan Karantina Ikan, Pengendali Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) menggagalkan pengiriman jenis lobster bertelur dan ukuran di bawah delapan cm di Bandara Soekarno-Hatta yang hendak dikirim ke Hong Kong dan Shanghai pada Sabtu (17/1) lalu.
Aturan kontroversi lainnya adalah peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang penghentian bongkar muat di tengah laut atawa transhipment yang dikeluarkan pada awal Desember 2014 lalu. Akibatnya, sejumlah kapal milik perusahaan perikanan lokal berhenti beroperasi karena Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSKP) tidak menerbitkan Surat Layak Operasi (SLO).
Kemudian, Permen KP No. 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
Seorang pengusaha lobster asal Nusa Tenggara Timur bernama Aminollah mengatakan akibat peraturan baru tentang larangan ekspor lobster ukuran di bawah 8 cm membuat pelaku usaha lokal mati. Sebab, para pelaku usaha lobster kesulitan mengekspor bibit lobster ke luar negeri. "Akibatnyanya, kami kehilangan penghasilan sebesar Rp 8,4 juta per bulan per orang," ujarnya, Senin (19/1).
Ia mengatakan, Permen No.1 tahun 2015 ini perlu ditinjau kembali. Pasalnya, masyarakat NTB sejak 2008 sudah memproduksi bibit lobster kurang lebih 10 juta ekor per tahun. Akibat permen ini, maka nelayan tidak dapat mengekspor bibit lobster.
Ketua Asosiasi Budidaya Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja mengkritik kebijakan tersebut yang berpotensi membunuh pelaku usaha lokal. Ia pun membentuk grup sendiri di media sosial dengan nama "Media Korban Susi". Ia mengatakan industri sektor perikanan banyak melibatkan kehidupan rakyat miskin di pesisir. Mereka ini yang merasakan dampak kebijakan ini, karena sebagian mereka menjadi anak buah kapal, yang mana kapal-kapal tersebut sekarang sulit beroperasi karena PSKP tidak menerbitkan SLO.
Wajan juga menilai Permen No.2 tahun 2005 merugikan pelaku usaha perikanan, khususnya di daerah Pantura Jawa. Pasalnya, ada puluhan ribu perahu yang berpotensi tidak dapat beroperasi lagi. "Lalu ibu menteri tidak memberikan alternatif atau jalan keluar bagi nelayan miskin. Padahal itu sudah menjadi tugas menteri," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News