Peraturan pajak deposan bisa dorong capital flight



JAKARTA. Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) menilai, Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito berpotensi melanggar Undang-undang Perbankan. Bahkan, kebijakan itu juga dinilai akan berdampak kepada larinya arus modal secara besar-besaran dari dalam negeri ke luar negeri (capital flight). 

"Ada dampak buruk yang semestinya (dihindari) yaitu adanya capital flight," ujar Ketua Perbanas Sigit Pramono saat di hubungi Kompas.com, Jakarta, Senin (16/2/2015) malam. 

Lebih lanjut kata dia, peraturan baru Ditjen Pajak itu rawan bertentangan dengan UU Perbankan yaitu terkait kerahasiaan bank. Pasalnya, dalam peraturan itu mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. 


Hal ini lah yang ditengarai menjadi penyebab terjadinya penarikan deposito secara besar-besaran di beberapa bank yang santer diberitakan. Para nasabah dinilai khawatir SPT pajaknya harus diubah. 

Terkait kebijakan tersebut, Perbanas kata Sigit tak sekalipun diajak bicara oleh pemerintah tentang kebijakan itu. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah segera melakukan evaluasi peraturan tersebut karena bertentangan dengan UU Perbankan dan akan berdampak buruk bagi perbankan itu sendiri. 

"Perbanas menyarankan agar Menteri Keuangan berkoordinasi membahas hal itu bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia). Ada dampak buruk yang semestinya yaitu adanya capital flight, Ini semestinya diperhitungkan masak-masak," kata Sigit. 

Sebelumnya diberitakan, strategi Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengejar setoran pajak melalui sejumlah peraturan, mulai menuai polemik. Salah satunya adalah kebijakan Ditjen Pajak yang menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito yang terbit pada 26 Januari 2015 lalu. 

Dalam peraturan itu, Ditjen Pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan. Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah. 

Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan. Para nasabah bank kabarnya mulai ketar-ketir. Mereka merasa tak nyaman lagi menyimpan uangnya di produk perbankan seperti tabungan dan deposito. (Yoga Sukmana)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia