Awal September 2016 lalu, Pantai Siung kedatangan tamu sangat jauh: delapan turis asal Swiss. Begitu tiba di pantai yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu, mereka langsung mencari seseorang yang bernama Saido. La, kok, malah mencari Saido? Maklum, pria 55 tahun ini merupakan ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Siung, pengelola pantai yang berjarak sekitar 35 kilometer (km) arah Tenggara Wonosari, ibukota Gunungkidul. Dan, delapan pelancong dari negeri Alpen itu ingin menjelajahi Siung dan sekitarnya sekaligus bermalam di pantai berpasir putih ini. Gunungkidul menjadi tujuan pertama mereka sebelum lanjut ke Bali.
Mbah Ido, begitu panggilan akrab Saido, langsung menyambut ramah delapan bule dari Benua Eropa itu. Dengan bantuan pemandu wisata alias
tour guide yang membawa mereka, wisatawan Swiss itu mengutarakan maksud dan tujuannya menemui Mbah Ido. Singkat kata, seluruh obrolan dan tanya-jawab tersebut memunculkan beberapa kesepakatan. Para turis Swiss akan menginap di Pantai Siung dari Jumat (2/9) sampai Ahad (4/9). Tugas pemandu wisata pun beralih ke tangan Mbah Ido yang berjanji akan mengajak mereka keliling daerah Purwodadi. Mulai hutan, taman buah, taman anggrek, Goa Plelen dan Goa Senen, hingga lokasi panjat tebing alam di sebelah barat Pantai Siung. Tarifnya: Rp 100.000 per pelancong per hari. Bukan cuma itu, Mbah Ido juga akan mengantar mereka ke pantai-pantai di sekitar Siung, yaitu Pantai Nglambor dan Pantai Timang yang ada di Selatan Siung. Termasuk, ke Pantai Wediombo di Timur Siung. Tapi ternyata, Mbah Ido mengungkapkan ke Tabloid KONTAN pekan lalu, para turis Swiss itu menginap di Siung bukan cuma dua malam, tapi sampai dua minggu. Alhasil, rencana berlibur ke pulau dewata mereka batalkan. Kata Mbah Ido, mereka sangat senang bahkan kerasan tinggal di Pantai Siung. Itu pun, para turis mengaku, sebenarnya waktu dua minggu masih kurang. Soalnya, selain mengajak ke tempat-tempat wisata di Gunungkidul, Mbah Ido juga mengenalkan budaya setempat termasuk minum dengan menggunakan batok kelapa. “Di negaranya, mereka belum pernah minum pakai batok kelapa. Terus, saya ajak juga nonton wayang. Kebetulan kami memang punya kelompok kesenian yang latihan setiap malam Jumat,” kata Mbah Ido. Selama di Gunungkidul, delapan turis Swiss itu bermalam di pinggir Pantai Siung dengan mendirikan tenda. Tapi, kadang juga menginap di mobil yang mereka sewa. Habis, tak ada hotel di sekitar pantai. Cuma, tiap akhir pekan, para turis Swiss tidak sendirian. Kira-kira ada 40 tenda yang berdiri di pinggir Pantai Siung saban malam Sabtu. Mayoritas adalah wisatawan lokal yang kebanyakan anak muda. Malam minggu lebih ramai lagi. Bisa ada 60 tenda–80 tenda. Dody, mahasiswa asal Padang yang kuliah di Jogja, yang berkemah di Siung, menyebut pantai yang namanya diambil dari kata asiang biung–berarti orangtua dan anak–ini sebagai surga. Indah banget. Ombaknya tak begitu tinggi. Pantai yang panjangnya kira-kira cuma 100 meter, yang diapit tebing batu karst di sebelah Selatan dan batuan andesit gunung api purba di sisi Timur, ini makin menawan di mata Dody justru lantaran tempat wisata itu tidak ada listrik. Saat malam hari, jutaan bintang bertaburan di langit Gunungkidul yang bersih. “Ini surga dan tempat seru untuk malam mingguan. Di Jogja terlalu macet dan bising. Di sini, pantai paling bagus di antara pantai yang lain,” ujar Dody. Peran masyarakat Dody bisa jadi benar. Siung memang terkenal dengan kekhasannya. Selain diapit dua bukit batuan berbeda jenis, bukit sebelah kanan pantai ini merupakan surga bagi pemanjat tebing alias
climber karena memiliki kurang lebih 250 jalur pemanjatan, cocok buat pemula hingga yang sudah jago. Di sini pernah digelar kejuaraan panjat tebing tingkat Asia yang diikuti 80 peserta dari 15 negara. Meski begitu, tiket masuk ke Siung murah meriah, hanya Rp 5.000 per orang. Pantainya juga bersih dan nyaman. Ini tak lepas dari peran Pokdarwis Pantai Siung. Sebagai Ketua Pokdarwis, Mbah Ido selalu menekankan tiga hal kepada seluruh anggota organisasinya: keamanan, kenyamanan, dan kebersihan. Mereka tak mematok tarif parkir, pengunjung membayar sukarela. Mbah Ido juga meminta pemilik warung yang merupakan warga sekitar tidak mematok harga makanan dan minuman kelewat tinggi. Alhasil, sebut saja, satu porsi makan siang cuma Rp 7.500 sudah termasuk sayur serta lauk-pauk. Tak heran, boleh jadi hanya Pokdarwis Pantai Siung yang tak punya uang kas operasional di Gunungkidul. “Kami bekerja gotong-royong. Duit itu tatanan yang paling rawan. Maka, saya minta pokdarwis tidak usah mencari duit, cukup sebagai organisasi yang membuat warga guyub,” ucap Mbah Ido. Warga sejahtera Toh nyatanya, Mbah Ido mengatakan, dengan prinsip itu penghasilan warga Purwodadi yang mencari rezeki di Pantai Siung sudah lebih dari cukup untuk hidup sehari-hari. Dia bilang, pendapatan rata-rata per bulan penduduk di kisaran Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Sampai-sampai, Mbah Ido menambahkan, penghasilan yang terbilang besar itu membuat iri warga desa yang berprofesi sebagai petani. Mereka pun ingin nyemplung dan ikut mencicipi bagian dari bisnis wisata di Pantai Siung. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Gunungkidul mencatat, jumlah pengunjung ke Siung meningkat luarbiasa dalam lima tahun terakhir. Menurut Kepala Pengembangan Produk Wisata Disbudpar Gunungkidul Antonius Hary Sukmono, dari 2014 ke 2015, pengunjung Siung melesat 149,55% dari 63.578 orang jadi 158.660 orang. Ini pengunjung saat jam kerja alias
office hours, lo. Di luar jam kerja, jumlah pengunjung naik 147,07%, dari 12.385 orang menjadi 30.600 orang. Sejak 2014, Bupati Gunungkidul menetapkan penarikan retribusi di luar jam kerja alias malam. Dari pungutan retribusi atawa tiket masuk, sebanyak 25% masuk ke kas desa. Dengan tarif Rp 5.000 per orang, artinya total retribusi Siung di 2015 lalu mencapai Rp 946,3 juta. Desa mendapat bagian Rp 236,58 juta. Tahun ini, sampai akhir Agustus lalu, total retribusi Siung sudah Rp 680,45 juta. Tentu, Siung tidak hanya jadi magnet buat wisatawan, tapi juga penduduk sekitar. Dulu, kehidupan petani penggarap di daerah ini betul-betul sengsara. Tidak mengherankan, banyak yang kemudian memilih merantau ke luar Gunungkidul bahkan ke luar Jawa menjadi buruh perkebunan kelapa sawit dengan gaji sekitar Rp 4,5 juta sebulan. Ada juga warga desa yang jadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Sekarang, begitu mengetahui potensi desa sudah begitu berkembang, banyak yang pulang kampung. Mulai membuka warung, membangun
homestay sederhana, jadi tukang ojek, sampai membuat taman buah bersama rekan satu desa. Hanya sejatinya, pada 1999 silam sudah ada kesadaran masyarakat memanfaatkan potensi wisata Siung. Tapi, sumber daya manusia (SDM) tampaknya belum siap. Warga samasekali tidak tahu harus bagaimana jika ada pengunjung datang ke daerahnya. Infrastruktur terutama jalan ke pantai juga belum ada, meski penduduk sudah mengupayakan sejak 1988. Baru pada awal 2000, kesadaran potensi wisata itu mendapat momentum. Saat itu, ada lomba panjat tebing tingkat nasional di bukit sebelah Barat Siung. Akses ke pantai pun terbuka. Puncaknya, kejuaraan panjat tebing se-Asia di 2004 di lokasi yang sama. Kegiatan ini betul-betul menggugah penduduk sekitar untuk menggarap Siung. Apalagi, dengan event sebesar dan seramai itu, pantai masih sepi pengunjung. Sejak itu, mulailah para petani yang tak punya tanah garapan banting setir menggarap pariwisata Siung. Pemerintah Gunungkidul pun mulai menangkap potensi wisata Siung juga tempat lain di daerah, yang kemudian secara resmi mengukuhkan pokdarwis-pokdarwis dan pengembangan desa wisata melalui Peraturan Bupati Nomor 3 Tahun 2014. “Tapi, pembentukan kelompok-kelompok itu sebenarnya sudah dari 2010,” kata Bupati Gunungkidul Badingah ke Tabloid KONTAN. Tapi, nama Siung yang kian terkenal hingga mancanegara justru menimbulkan tantangan baru. Mbah Ido sadar betul, tantangan terbesarnya adalah merawat Pantai Siung. Selain merawat Siung, ke depan Pokdarwis Pantai Siung akan mengembangkan objek wisata lain di daerahnya. Masih ada 41 gua yang belum dikembangkan sebagai objek wisata. “Ini sebagai simpanan anak cucu,” kata Mbah Ido.
Betul. Sigit Pramono, pengamat pariwisata, bilang, tantangan terbesar industri pariwisata adalah merawat objek wisata. Saat ini pemerintah dan pelaku sektor ini terpaku pada target pengunjung dan pendapatan. “Padahal, wisata persoalannya adalah bagaimana merawat,” tutur mantan bankir yang berbisnis wisata lewat event Jazz Gunung di Bromo dan Kawah Ijen, Jawa Timur, ini. Ya, butuh perawat-perawat semacam Mbah Ido dan Pokdarwis Siung untuk merawat dan menjaga tempat wisata Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan