Perbaikan Maleo, PGN berpotensi merugi Rp 150 miliar



JAKARTA. Perbaikan di lapangan gas Maleo, Madura pada bulan Juni nanti berpotensi membuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) merugi sebesar Rp 150 miliar. Maklum, selama perbaikan dilakukan, perusahaan tambang Santos yang selama ini memberikan pasokan gas ke PGN di Jawa Timur tidak bisa beroperasi. Kepala Divisi Komunikasi Korporat PGN, Nella Andaryati mengatakan kebutuhan gas mereka untuk wilayah Jawa Timur mencapai 160 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Dari jumlah itu, sebanyak 130 mmscfd diperoleh dari Santos. "Sisanya diperoleh dari Kodeko sebesar 26 mmscfd dan Lapindo 4 mmscfd," terang Nella. Dengan tidak beroperasinya Santos selama perbaikan lapangan gas Maleo secara otomatis pasokan gas ke PGN juga terhenti. Nella bilang potensi kerugian PGN yang diakibatkan dari berhentinya pasokan gas selama 15 hari itu sekitar Rp 150 miliar. Menurut Nella, PGN bersama BP Migas telah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya di Jawa Timur. Pelanggan industri dari PGN yang akan terpengaruh di antaranya baja, kaca, keramik, kimia dan makanan. "Untuk keramik dan kaca terpaksa berhenti operasi karena harus menggunakan bahan bakar gas," kata Nella. Untuk beberapa industri, sebagian masih bisa beralih ke bahan bakar lain. Untuk mengantisipasinya, PGN telah berkoordinasi dengan Pertamina agar memprioritaskan kebutuhan industri di Jawa Timur pada saat pasokan gas di sana terhenti. Pertamina bisa mengalokasikan BBM dan LPG sebagai cadangan energi bagi industri agar tetap beroperasi. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman mengatakan sebagian industri makanan dan minuman di Jawa Timur bisa mengatasi kekosongan pasokan gas dengan menggunakan energi lain berupa solar. Tapi kebanyakan tidak mempunyai peralatannya hingga harus berhenti beroperasi. "Sampai saat ini belum ada solusi energi penggantinya," terang Adhi. Adhi mengatakan sebenarnya perusahaan gas swasta CNG menawarkan gas ke industri. Sayangnya harganya 3,8 kali lebih mahal dari harga PGN. Selain itu, mereka harus membeli peralatan baru yang harganya sangat mahal. Untuk mengatasi permasalahan gas, Adhi mengatakan industri makanan dan minuman akan membuat stok makanan jadi atau buffer stock. Namun hal itu hanya dilakukan untuk makanan yang memiliki daya tahan lama. Sedangkan makanan yang hanya bisa bertahan satu hingga tiga hari tidak bisa membuat stok. Menurut Adhi kebutuhan gas untuk industri makanan dan minuman di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 44,25 mmscfd. Tahun ini kebutuhannya sebenarnya meningkat 20%, tapi tidak mendapat tambahan pasokan. Sementara kebutuhan untuk wilayah Jawa Timur sendiri sekitar 25% dari total kebutuhan nasional. Adhi menyayangkan sikap pemerintah di tengah krisis gas dalam negeri. Hal ini terkait dengan rencana menambah ekspor LNG ke Jepang. "Seharusnya penuhi dulu kebutuhan gas dalam negeri, kalau sudah lebih baru boleh ekspor," kata Adhi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.