JAKARTA. Sanksi Bank Indonesia (BI) atas Bank Mega mengundang polemik. Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, hukuman yang dijatuhkan, terutama larangan ekspansi kantor cabang selama setahun terlalu memberatkan dan tidak relevan. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas mengatakan, sanksi ini hanya menghambat pertumbuhan bank. Sementara efek jera yang diharapkan BI, belum tentu terlihat. Lagi pula, tidak tepat bank menanggung sanksi akibat fraud atau penyimpangan yang dilakukan pegawai mereka. "Bank juga korban. Jadi sanksi harusnya lebih ke orangnya untuk efek jera," ujar Sigit di seminar Pembobolan Dana Nasabah Bank, Kamis (26/5).
BI bergeming. Rapat Dewan Gubernur BI, Senin lalu (23/5), sudah mempertimbangkan masak-masak dampak ke industri dan memperhitungkan kadar kesalahan bank. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, menjelaskan, ketika memeriksa sistem pengendalian risiko dan kontrol internal Bank Mega, BI menemukan banyak pelanggaran. Terutama, soal kewenangan kepala cabang dan penerapan prosedur operasi standar (SOP) kantor cabang. "Hasil pemeriksaan juga mengungkapkan, direksi belum memiliki sarana pengendalian yang memadai untuk memastikan operasional bank berjalan baik," kata Halim. Difi A Johansyah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI, menambahkan, dari temuan tersebut, tim pengawas membuat skor untuk mengukur tingkat kesalahan. Hasilnya, derajat kesalahan di Bank Mega sangat tinggi. "Makanya kami menjatuhkan sanksi paling optimal," katanya. BI menggunakan PBI Nomor 11/ 25 /PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Pasal 34 menyebutkan, bank yang yang tidak melaksanakan ketentuan dapat terkena sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga pembekuan kegiatan usaha tertentu. Pembekuan kegiatan ini bentuknya bermacam-macam. Salah satunya, larangan menambah cabang. "Kami melarang ekspansi karena kami ingin mereka membenahi kantor cabang secara menyeluruh," kata Halim.