JAKARTA. Belum lagi diterapkan, rencana Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan melaporkan suku bunga dasar kredit sudah mendapat penolakan. Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, kebijakan prime lending rate ini tidak akan efektif menurunkan suku bunga kredit. "Lebih baik diidentifikasi dahulu sektor mana yang masih mempermasalahkan tingginya suku bunga," kata Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono, Jumat (8/10) malam. Pasalnya, tidak semua sektor usaha mempermasalahkan suku bunga yang tinggi. Sigit bilang, perusahaan yang bergerak di sektor yang kompetitif dan memiliki persaingan tinggi biasanya akan menjadi rebutan bank-bank yang ingin menyalurkan kredit. "Dengan bargaining position yang tinggi, perusahaan tersebut bisa tawar menawar dengan bank. Akhirnya, mereka bisa mendapatkan suku bunga yang rendah," ujarnya. Contohnya, perusahaan di sektor telekomunikasi, makanan, dan minuman.
Ia menilai, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga tidak terlalu mempermasalahkan suku bunga tinggi. Masalah utama yang mereka hadapi adalah akses untuk mendapatkan pinjaman. "Jika mereka meminjam ke rentenir atau lintah darat, mereka bisa mendapat bunga 40%. Kalau bank bisa memberikan 20%, mereka sudah bersyukur sekali," tutur Sigit. Salah paham Sigit khawatir, kebijakan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman antara calon debitur dengan bank mengenai penentuan suku bunga (pricing). Seperti diketahui, komponen prime lending rate yang diumumkan ada tiga hal. Pertama, biaya dana atau cost of fund. Kedua, biaya operasional atau overhead cost. Ketiga, margin keuntungan. "Sedangkan pricing, selain ketiga hal tersebut, masih ada premi resiko. Tidak semua nasabah mengerti bahwa prime lending rate ini belum termasuk premi risiko," tukasnya. Ketika bank mengumumkan suku bunga dasar kredit, misalnya 15, lalu calon debitur dikenakan lagi premi risiko, timbul kesalahpahaman tersebut. "Pricing terbentuk karena negosiasi bukan karena diumumkan atau disuruh. Kalau tujuannya itu, tidak akan menurunkan suku bunga bank," tandasnya.