Perbandingan anggaran dan utang pemerintah



Perdebatan kondisi anggaran dan utang pemerintah seharusnya bisa dilakukan lebih positif jika masing-masing pihak bisa memberikan opini berdasarkan data dan fakta.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengkhawatirkan adanya pihak yang memperkeruh suasana dengan menyebut utang dan defisit anggaran sudah berlebihan. Menkeu memastikan utang yang tembus Rp 4.000 triliun masih aman lantaran baru 30% dari produk domestik bruto (PDB). Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Publik menetapkan, rasio utang untuk menutup defisit anggaran tidak boleh lebih 60% dari PDB.

Ada tiga refleksi soal isu ini sehingga masayarakat awam bisa memahami konteks anggaran dan utang pemerintah lebih mudah.


Pertama, anggaran pemerintah tak ubahnya rumah tangga. Sebagai perbandingan, rumah tangga menerima gaji dari pekerjaan, pendapatan pemerintah terkumpul dari pajak. Rumah tangga lalu membelanjakan gaji untuk cicilan rumah, listrik, pendidikan dan kesehatan. Demikian pula, pemerintah menggunakan pendapatannya untuk proyek infrastruktur, sekolah, rumah sakit, gaji pegawai negeri dan pensiun.

Analoginya, jika suatu rumah tangga memutuskan membangun rumah atau membeli mobil dengan meminjam uang dari bank dengan membayar cicilan, maka pemerintah melakukan hal yang sama. Pembangunan infrastruktur yang membutuhkan dana besar mengharuskan pemerintah  mencari utang. Jadi pemerintah berutang adalah hal yang wajar.

Anggaran pemerintah harus dilihat secara holistik.  Menkeu menyarankan semua pihak melihat fenomena anggaran secara keseluruhan disertai pemahaman terhadap indikator ekonomi pendukung. Sayangnya, Menkeu juga membandingkan anggaran Indonesia  dengan negara lain tanpa melihat postur anggaran negara yang dijadikan pembanding.

Badan internasional seperti IMF  atau OECD memiliki klasifikasi anggaran pemerintah berdasarkan  classification of the functions of government (COFOG). Klasifikasi ini bisa digunakan untuk menjustifikasi apakah sebuah negara layak dijadikan pembanding bagi negara lain. Misal, data 2016 menunjukkan gambaran seperti terlihat di tabel.

Pos pengeluaran dalam mata anggaran pemerintah berdasarkan klasifikasi COFOG di atas bisa mengilustrasi bagaimana kebijakan  publik yang dianut masing-masing negara berbeda. Perbedaan yang mencolok tampak ketika membandingkan Indonesia dengan negara Eropa. Di Eropa, sekitar 40% dari anggaran, atau setara 20% dari PDB, dialokasikan untuk layanan sosial seperti tunjangan keluarga atau pensiun. Sedang Indonesia hanya mengalokasikan 9% dari anggaran, atau 1,4% dari PDB untuk tunjangan sosial.

Pembanding yang pas

Mengapa hal ini penting?  Selama tinggal di Eropa selama 10 tahun terakhir kami merasakan besarnya anggaran sosial ini menjadi salah satu motivasi bagi pembayar pajak menaati aturan perpajakan (tax compliance). Sebagai wajib pajak, mereka sadar bahwa gaji mereka dipotong dengan tarif pajak penghasilan yang tinggi, bahkan di Swedia mencapai lebih dari 50%. Tapi ada keyakinan bahwa disamping manfaat yang sifatnya umum, seperti pembangunan infrastruktur, ada manfaat yang diterima penduduk berupa tunjangan sosial. Ini yang barangkali membuat sisi penerimaan anggaran di Eropa lebih stabil.

Sebagai pembanding, OECD melaporkan tax base (proporsi pembayar pajak dibandingkan dengan populasi) di Indonesia hanya 10% di tahun 2014. Tax compliance pun rendah. Catatan, periode itu sebelum amnesti pajak. Dengan sosok seperti ini, harusnya Indonesia dibandingkan dengan Thailand, yang punya komposisi COFOG mirip.

Sejatinya, Indonesia masih memiliki rasio utang terhadap PDB yang relatif kecil dibandingkan negara dengan karakteristik yang sama maupun dengan negara maju. Vietnam, misalnya, memiliki rasio utang hampir 65% dari PDB dalam lima tahun terakhir. Jepang dan Amerika Serikat rasio utangnya masing-masing di atas 200% dan 100%. Yang membedakan barangkali adalah selama tiga tahun terakhir, Indonesia memiliki pertumbuhan rasio utang terhadap PDB dengan prosentase cukup tinggi, kecuali 2016.  Lonjakan ini yang mungkin harus diantisipasi. Perlu dipastikan bahwa tambahan utang benar-benar memiliki nilai strategis, baik jangka pendek, menengah , maupun panjang.

Ketiga, hubungan antara utang pemerintah dan pembangunan infrastruktur sangat kompleks.  Pembangunan infrastruktur kerap dituding sebagai salah satu alasan naiknya utang pemerintah. Namun kebutuhan infrastruktur tidak terbantahkan untuk menutup kesenjangan antara  wilayah barat dan timur Indonesia.

Sebuah penelitian oleh Santanu Chatterjee, John Gibson, dan Felix Rioja melihat fenomena pengeluaran investasi infrastruktur di AS  antara 1990 dan 2015. Penelitian ini menunjukkan pengeluaran investasi infrastruktur hingga 4% dari PDB memiliki dampak maksimum terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi masalah, anggaran yang terbatas kadang mengakibatkan ketergantungan fiskal pada utang. Studi dari Markus Eberhardt dan Andrea F. Presbitero menyimpulkan adanya hubungan negatif antara utang publik dan pertumbuhan jangka panjang di beberapa negara.

Sebagai penutup, kita harus mengingat dasar kebijakan anggaran negara terkait erat dengan visi kebijakan publik suatu negara. Visi ini yang lantas menentukan prioritas anggaran.

Thomas Dye, profesor ilmu pemerintahan di Florida State University, menyebut sifat kebijakan publik sebagai everything whatever governments choose to do or not to do.  Sedang Clarke E. Cochran, ahli ilmu politik dari Texas Tech University, mendefinisikan kebijakan publik sebagai the actions of government and the intentions that determine them. Dus, membandingkan anggaran antara dua negara butuh pemahaman tentang karakteristik dan kerangka kerja dari dua negara yang diperbandingkan.

Indonesia harus bangga dengan komitmen kuat pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan infrastruktur dan pendidikan. Namun pemerintah juga harus mempertimbangkan nilai tambah pengeluaran.

Apa benar investasi infrastruktur memiliki manfaat lebih besar dari alternatif non-fisik seperti  sumber daya manusia dalam kondisi anggaran yang terbatas. Aspek prioritas anggaran ini sama pentingnya untuk dibahas, selain utang pemerintah yang kini menjadi komoditas politik.             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi