KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlambatan laju pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tengah membayangi industri perbankan. Alhasil, pendanaan non DPK seperti surat utang menjadi salah satu solusi yang menjadi andalan. Terlebih, saat ini suku bunga acuan mulai mengalami penurunan. Jika penurunan terus berlanjut, hal tersebut akan menjadi sentimen bagi bank menerbitkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih ringan. Head of Financial Institutions Ratings Division Pefindo Danan Dito mengungkapkan penurunan suku bunga memberikan kesempatan bagi perbankan untuk mengganti surat utang yang mahal dengan yang lebih murah.
Hanya saja, ia melihat pemangkasan suku bunga acuan oleh BI pada pekan lalu dari 6,25% menjadi 6,00% juga baru menempatkan posisi suku bunga acuan seperti pada kuartal pertama tahun ini, yang mana levelnya masih tergolong tinggi. “Saya melihat kalaupun ada perbankan yang menerbitkan surat utang hingga akhir tahun, itu lebih banyak didorong oleh kebutuhan refinancing,” ujar Dito, Selasa (24/9).
Baca Juga: Laju Pertumbuhan DPK Melambat, Agustus Terendah Sejak 6 Bulan Namun demikian, Dito mengharapkan penerbitan surat utang korporasi dari sektor perbankan hingga akhir tahun 2024 akan lebih semarak. Mengingat, memasuki awal siklus pemangkasan suku bunga, yang mana itu menjadi katalis bagi penurunan biaya pendanaan, perbaikan leverage keuangan, dan stimulus pertumbuhan kredit. Berdasarkan realisasinya per Agustus 2024, penerbitan surat utang oleh industri perbankan mencapai Rp 8,59 triliun. Nominal tersebut melebihi periode yang sama tahun 2023 yang sebesar Rp 6,39 triliun. Jika dijumlahkan dengan total mandat yang diterima Pefindo per Agustus 2024 sebesar Rp 3 triliun, maka totalnya adalah sebesar Rp11,59 triliun. Sehingga, secara total, ia melihat total penerbitan hingga akhir tahun 2024 kurang lebih akan relatif sama dengan tahun lalu. “Ada 2 bank yang merencanakan untuk menerbitkan surat utang sebesar Rp3 triliun,” ujarnya. Direktur Distribution & Institutional Funding BTN Jasmin mengungkapkan bahwa jika suku bunga rendah memang paling cocok adalah dengan menerbitkan obligasi. Alasannya, pendanaan dari obligasi bisa untuk jangka panjang dengan size yang bisa besar. Hanya saja, ia bilang BTN akan memantau perkembangan di pasar modal atas penerbitan surat berharga yang ada. Terlebih, melihat instrumen surat berharga seperti Surat Utang Negara (SUN) maupun RSBI. Ia mencontohkan SUN saat ini dengan tenor 1 tahun memiliki imbal hasil 6.14% dibandingkan dengan obligasi korporasi rating AAA yang ada di range 6.5% dg tenor 1 tahun. Ditambah lagi, ada penerbitan SRBI yg masih di level 7.11% per 13 September 2024. Ia melihat hal tersebut akan membuat kemungkinan untuk korporasi tidak memungkinkan di terbitkan di level 6,5% Kurang lebih akan di level 7.6% - 7.8% di atas SRBI. “Ringkasnya BTN akan melihat perkembangan lebih lanjut
impact penurunan BI rate,” ujarnya.
Baca Juga: Laju Pertumbuhan Kredit Melambat di Agustus 2024 Jadi 11,4%, Terendah Selama 5 Bulan Di sisi lain, untuk pinjaman antar bank, Jasmin bilang porsinya sangat kecil. Mengingat, pinjaman antar bank hanya untuk jangka pendek. Sementara itu, Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi bilang pendanaan non DPK saat ini banyak dipergunakan perbankan selain untuk pemenuhan kebutuhan likuiditas juga untuk pemenuhan rasio net stable fund yang dipersyaratkan.
Untuk Bank BJB sendiri, Yuddy mengungkapkan tahun ini telah menerbitkan obligasi subordinasi yang telah dieksekusi sebesar Rp 1,43 triliun. Bank BJB masih akan menerbitkan sustainable bond di akhir semester kedua tahun ini senilai Rp 1 triliun. Di luar obligasi, Yuddy menyebutkan fasilitas dari bank lain juga menjadi salah satu sumber likuiditas, meski porsinya kecil. “Tahun depan kami masih akan menerbitkan obligasi, mudah2an market juga lebih friendly dengan suku bunga yg lebih murah, dan confident dalam berinvestasi didukung kondisi perekonomian yang terus membaik,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari