Perbankan Asia Lebih Tahan Banting Dibanding Perbankan Global



TOKYO. Krisis finansial global boleh saja meluluhlantakkan sektor perbankan di negara-negara Barat. Namun, di negara-negara Timur, lain pula ceritanya.

Di Asia, sektor perbankan hanya mengalami sedikit memar-memar. Namun hal itu tidak sampai menyebabkan bank-bank di kawasan regional sampai kolaps. Lihat saja, selama ini, pemerintah di Asia belum ada yang sampai melakukan bailout besar-besaran terhadap suatu bank. Bahkan sebaliknya, beberapa bank di Asia terus melakukan ekspansi sementara koleganya di bagian Barat harus menutup usahanya. Hal ini bisa jadi sebuah pertanda, bahwa pusat perekonomian dunia akan beralih ke Timur.

Meski demikian, ambisi Asia untuk menjadi pemimpin finansial berikutnya harus menghadapi berbagai ujian berat. Misalnya saja tingkat volatilitas yang tinggi di pasar saham turut menggerus aset-aset sejumlah perbankan. Selain itu, melempemnya perekonomian global juga turut menurunkan permintaan ekspor dari Asia.


Saat ini, perbankan Asia sudah cukup aktif melakukan berbagai program dan kebijakan dalam menjalankan bisnisnya. Kebijakan yang dilakukan antara lain dengan menjalankan bisnis yang risikonya kecil, melakukan pendanaan publik, memperketat pengawasan bank dan menjalankan sistem manajemen risiko yang lebih baik.

Para analis mengatakan, hingga saat ini, belum ada diantara bank-bank utama yang diprediksi membutuhkan dana bailout yang besar seperti halnya Citigroup Ind dan American International Group dari Pemerintah AS.

Lebih jauh lagi, bank-bank Asia juga cukup beruntung dengan tingginya tingkat simpanan dari para depositor domestik. Hal ini yang kemudian memberikan mereka dana yang cukup untuk saling meminjamkan dan berinvestasi.

“Luasnya dampak dari krisis finansial memiliki arti bahwa perbankan Asia saat ini masih memiliki sejumlah modal untuk menangkap peluang yang ada di pasar pada saat pasar masih stabil. Mereka juga sudah mempersiapkan langkah untuk tahap pertumbuhan berikutnya,” kata Jerry Chien, managing director Moody’s Asia Pacific.

Belajar dari pengalaman masa lalu

Bank-bank sentral di kawasan regional juga melakukan respons yang sangat agresif sejak September lalu dengan meluncurkan beragam kebijakan moneter, termasuk suntikan likuiditas dan pemangkasan suku bunga. Ini mereka lakukan berdasarkan pengalaman buruk yang mereka alami di masa lalu.

“Terima kasih atas adanya tindakan yang cepat dari para penentu kebijakan dari negara-negara Asia Timur. Sejauh ini, sistem perbankan mampu mengatasi gejolak krisis,” kata Jim Adams, World Bank vice president untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik.

Sistem perbankan Korea Selatan mungkin menjadi yang terburuk tahun ini dengan capital adequacy ratio yang rendah dan tingginya loan to deposit ratio.

“Hal ini sangat tergantung dengan seberapa buruk perekonomian akan melambat,” jelas Kim Jae woo, banking analyst Samsung Securities di Seoul.

Meski demikian, perbankan Korsel dan perekonomiannya saat ini jauh lebih kuat dibanding sepuluh tahun lalu. Pada waktu itu, anjloknya baht Thailand menimbulkan gelombang di seluruh Asia. Ribuan perusahaan dinyatakan bangkrut dan jutaan orang tak memiliki pekerjaan. Setelah mendapatkan bailout senilai miliaran dolar oleh Badan Moneter Internasional (IMF), Korsel melakukan reformasi terhadap sistem perbankan dan berhasil bangkit.

Jepang juga belajar dari tragedi utang pada 1990-an, yang dipicu oleh anjloknya harga tanah. Para institusi finansial utama, mampu bertahan dari krisis subprime dengan kerugian yang jauh lebih sedikit dibanding teman-teman sejawatnya di Barat.

Pada saat perbankan Barat ambrol, perbankan Asia langsung melihat kesempatan emas dari kejadian itu. Nomura Holdings Inc, misalnya, langsung mencaplok operasi Lehman Brothers di Asia, Eropa dan Timur Tengah senilai US$ 2 miliar.

Selain itu, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc juga langsung menginvestasikan dananya sebesar US$ 9 miliar untuk pembelian 21% saham Morgan Stanley.

Para analis pun menilai, kondisi serupa juga terjadi di bank-bank Hongkong. Perbankan Hongkong cukup sehat, memiliki modal yang cukup, dan mampu menahan Tier 1 capital ratio di atas 8%.

Langkah-langkah itulah yang kemudian menempa perbankan Asia menjadi lebih mampu bertahan dan tahan banting di tengah amukan gelombang krisis finansial terburuk sepanjang sejarah.

Editor: Didi Rhoseno Ardi