JAKARTA. Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat menjadi US$ 119 miliar dari sebelumnya US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, atau naik hampir sepuluh kali lipat pada periode yang sama. Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) yang bertajuk "Hancurnya Masa Depan Kita." Dalam kajian tersebut, menyoroti pentingnya lembaga keuangan membuat komitmen untuk mengurangi dampak negatif investasi yang mereka lakukan terhadap perubahan iklim. Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa mengatakan, penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan di 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil (batubara dan migas) dan perusahaan peralatan energi terbarukan (solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, turbin listrik, dan rekayasa panas bumi). Penelitian ini dilakukan pada proyek energi terbarukan dan perusahaan utilitas yang berada di delapan negara koalisi FFGI. Sedangkan di Indonesia, penelitian dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan. Mulai dari Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, dan Bank Panin. Juga, delapan perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara dan utilitas. Meski demikian, walaupun sudah ada bank yang mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil, seperti UFJ Mitsubishi, namun pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling masih paling besar.
Perbankan diminta kurangi pembiayaan energi fosil
JAKARTA. Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat menjadi US$ 119 miliar dari sebelumnya US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, atau naik hampir sepuluh kali lipat pada periode yang sama. Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) yang bertajuk "Hancurnya Masa Depan Kita." Dalam kajian tersebut, menyoroti pentingnya lembaga keuangan membuat komitmen untuk mengurangi dampak negatif investasi yang mereka lakukan terhadap perubahan iklim. Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa mengatakan, penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan di 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil (batubara dan migas) dan perusahaan peralatan energi terbarukan (solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, turbin listrik, dan rekayasa panas bumi). Penelitian ini dilakukan pada proyek energi terbarukan dan perusahaan utilitas yang berada di delapan negara koalisi FFGI. Sedangkan di Indonesia, penelitian dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan. Mulai dari Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, dan Bank Panin. Juga, delapan perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara dan utilitas. Meski demikian, walaupun sudah ada bank yang mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil, seperti UFJ Mitsubishi, namun pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling masih paling besar.