Perbankan relatif tahan terhadap krisis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan Indonesia tampaknya masih cukup kuat terhadap guncangan krisis. Ini terlihat dari hasil join stress test Otoritas Jasa Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) terhadap 20 bank, terdiri dari 18 bank lokal dan dya bank asing. Stress test ini bertujuan untuk mengukur ketahanan modal dan kecukupan likuiditas perbankan dalam menghadapi perubahan dan shock pada kondisi makro ekonomi.

Ke-20 bank tersebut menguasai sekitar 75,88% dari total aset industri perbankan.  Berdasarakan stress test yang dilakukan antara lain diketahui ada dua risiko yang paling mempengaruhi bank.

Risiko pertama, risiko konsentrasi. Risiko konsentrasi ini mensimulasikan ada tiga debitur terbesar bank yang mengalami gagal bayar alias default. Ini merupakan skenario dengan kerugian paling besar yaitu Rp 171 triliun.


Jika menggunakan model risiko konsentrasi ini, diketahui bahwa rasio permodalan (CAR) bank bisa turun sampai 432 bps menjadi 18,46%.

Sedangkan jika menggunakan risiko suku bunga, hasil stress test menunjukkan perbankan bisa mengalami kerugian Rp 72 triliun jika ada kenaikan suku bunga sebanyak 500 bps. Selain itu, CAR bank juga bisa turun 189 bps menjadi 20,89%.

Yang jelas, umumnya ke-20 bank itu memiliki ketahanan modal cukup kuat untuk menyerap kerugian akibat memburuknya kondisi ekonomi.

Adhi Brahmantya, Direktur Keuangan dan Teknologi Informasi Bank Bukopin mengatakan, risiko konsentrasi paling besar ada di sektor kredit perdagangan besar. Ada beberapa industri misalnya spare part otomotif, komoditi bahan pangan dan pertanian.

"Selain itu risiko konsentrasi yang cukup besar di kredit pertambangan ketika dulu harga batubara turun," kata Adhi, Kamis (17/5).

Nixon Napitupulu, Direktur Collection & Asset Management Bank Tabungan Negara (BTN) mengatakan, untuk BTN memang risiko konsentrasi terbesar masih di sektor perumahan dan konstruksi perumahan.

Sementara Bob Tyasika Ananta, Direktur Manajemen Risiko Bank Negara Indonesia (BNI) menuturkan, terkait dengan risiko suku bunga tidak terlalu signifikan. "Ini karena jika suku bunga acuan naik maka akan berdampak positif ke pendapatan bunga bersih," kata Bob.

Risiko suku bunga ini tercermin dari gap antara aset dengan liabilitas rupiah yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Berdasarkan ini, masih terhadap gap positif yaitu aset lebih besar dibanding liability sensitif rate. Terkait potensi NPL, BNI menerapkan risk management sehingga NPL terjaga tidak lebih dari 2,3 % di 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati