JAKARTA. Keinginan perbankan memiliki biro kredit yang mumpuni naga-naganya bakal segera terwujud. Para bankir menilai, keberadaan Sistem Informasi Debitur (SID) milik Bank Indonesia (BI) tidak mampu lagi menyediakan informasi secara lengkap, tepat dan mudah diakses. “SID yang ada saat ini sudah ketinggalan,” kata Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, Selasa (27/4). Karena kebutuhan yang sangat mendesak itu, sejak lama bankir mengidamkan memiliki biro kredit sendiri. “Mudah-mudahan tahun depan, biro kredit itu sudah terbentuk," ungkap Sigit. Enam calon investor
Sigit menuturkan, keberadaan biro kredit yang berkualitas amat mendesak untuk mendorong penyaluran kredit. “Bank lambat memberikan persetujuan kredit, salah satunya karena sulit memperoleh informasi yang cepat dan lengkap,” katanya. Jos Luhukay, Wakil Direktur Utama Bank Danamon, menambahkan, saat ini sudah ada enam perusahaan yang berminat menanamkan investasinya di lembaga baru itu. "Pengelolanya adalah lembaga yang berpengalaman secara internasional," jelasnya. Sayang, Jos tak mau mengungkap identitas enam perusahaan yang berminat itu. Soal target waktu beroperasi, Jos menargetkan kuartal kedua tahun depan biro kredit tersebut sudah berjalan. Untuk investasi awal, biro kredit membutuhkan dana jutaan dollar AS. Perbanas mengklaim sudah mengantongi restu dari tiga regulator yakni BI, Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan menurut rencana, hari ini Bapepam-LK akan meneken kerjasama pembentukan biro kredit dengan asosiasi asuransi dan asosiasi perusahaan pembiayaan. Saat ini, sudah ada 43 juta data SID yang bisa dimanfaatkan oleh biro kredit baru. "Nantinya bisa ditingkatkan hingga 100 juta," katanya. Biro kredit ini tidak hanya menyediakan informasi untuk sektor perbankan, tapi juga memasok data untuk pelaku industri asuransi, multifinance, dan dana pensiun.
Biro kredit ini menyiapkan berbagai data individu. Mulai dari kepemilikan fasilitas kredit, tagihan telepon dan listrik, sampai ketepatan pembayaran premi asuransi. "Kesemuanya bisa dilihat dalam sistem baru dan ada
score-nya. Jika
score-nya tinggi maka calon debitur itu baik," ujarnya. Jika sudah beroperasi, pengelola biro kredit akan mengutip biaya dari para pengakses data. Sebagai gambaran, biro kredit di Thailand mengutip biaya setara Rp 12.000 untuk setiap permintaan data. "Di sana menyediakan hingga 500 jenis data," tutur Jos. Rencana pembentukan biro kredit ini masih satu rangkaian dalam desain Arsitektur Teknologi Perbankan Indonesia (ATPI) yang digagas sejak 2006 silam. Para bankir menilai, persoalan infrastruktur teknologi informasi termasuk salah satu tantangan terbesar dalam berekspansi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Johana K.