KONTAN.CO.ID - Tidak terasa kita hampir melewati pertengahan tahun 2020. Tahun ini dapat penulis katakan sebagai tahun istigfar bagi seluruh bank syariah di Indonesia. Begitu banyak cobaan dan tekanan lahir di tahun ini menimpa tidak saja industri perbankan syariah namun juga perbankan konvensional. Cobaan dari virus korona (Covid-19) sebagai cobaan terberat tahun ini sampai dengan saat tulisan ini ditulis belum menampakkan perkembangan yang membahagiakan bagi banyak korporasi termasuk industri perbankan syariah. Banyak korporasi dan industri perbankan syariah menatap tahun 2020 dengan penuh kegalauan melihat cobaan yang begitu besar dan potret ekonomi yang menantang bisnis saat ini. Selain isu Covid-19 yang telah memakan energi besar bagi perbankan syariah terdapat dua isu kritis lain yang saat ini juga harus dihadapi industri perbankan syariah di Indonesia. Isu itu adalah tingginya pembiayaan bermasalah dan isu strategis perbankan syariah. Bila dua isu tidak segera diatasi maka bank syariah akan kehilangan potensi untuk meningkatkan pangsa pasarnya yang sampai dengan saat ini masih berada di bawah angka 6%. Artikel ini akan membahas dua isu diatas yang sangat strategis harus dihadapi di era
new normal hari ini.
Pembiayaan bermasalah Potret pembiayaan perbankan syariah Indonesia sebagaimana dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam statistik perbankan syariah terbaru yang dirilis akhir Mei 2020 sungguh memprihatinkan kita semua. Sebelum terjadinya Pandemi Covid-19 pertumbuhan perbankan syariah rata-rata selalu dua digit. Namun 3 bulan terakhir dari bulan Januari sampai dengan Maret 2020 pertumbuhan pembiayaan industri perbankan syariah hanya 1,8 %. Padahal pada periode sebelumnya total pembiayaan perbankan syariah selama setahun terakhir dari periode Desember 2018 ke Desember 2019 tumbuh 10,93% dari Rp 320 triliun menjadi Rp 355 triliun dengan besaran persentase
Non Performing Financing (NPF) adalah 3.1%. Tiga besar industri yang banyak dibiayai adalah perdagangan, konstruksi dan perumahan. Yang mengejutkan itu adalah peningkatan jumlah absolut pembiayaan bermasalah juga tumbuh pesat 20,77% dari Rp 9 triliun ke Rp. 11,8 triliun. Berarti selama setahun terakhir pertumbuhan pembiayaan bermasalah dua kali lipat lebih besar dari pertumbuhan penyaluran pembiayaan bank syariah. Tingginya pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah ini perlu menjadi perhatian kita semua. Sektor NPF tertinggi yang amat sangat terpengaruh adalah sektor perdagangan. Dari manakah sumber kenaikan pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah perbankan syariah dimaksud? Untuk mencari faktanya kita bisa menganalisis pertumbuhan pembiayaan bermasalah di 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS). Pembiayaan perbankan syariah di 14 BUS selama setahun terakhir tumbuh 11.29%. NPF Pembiayaan BUS di Desember 2019 adalah 3.23% dan naik jadi 3.43% di masa Pandemi Covid-19. Selama setahun terakhir pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah tumbuh 10,10 persen. Dengan demikian pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah masih dibawah angka pertumbuhan penyaluran pembiayaan BUS. Kondisi ini sepertinya amat berbeda dengan profil pembiayaan di UUS. 20 UUS setahun terakhir mencatat kinerja yang kurang baik. Pembiayaan perbankan syariah di 20 UUS selama setahun terakhir tumbuh 10.30% dari Rp 117 triliun naik menjadi Rp 130 triliun di Desember 2019 dan NPF Pembiayaan UUS adalah 3%. Meskipun angka persentase NPF ini masih dibawah standar OJK 5% namun selama setahun terakhir pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah UUS tumbuh 48,60%. Sebuah pelajaran kehati-hatian yang perlu di petik adalah sumber pembiayaan bermasalah di UUS 61% datang dari produk bagi pembiayaan bagi hasil yaitu musyarakah. Dengan demikian kontribusi pertumbuhan pembiayaan bermasalah perbankan syariah setahun terakhir rupanya datang dari 20 UUS. Ini menunjukkan bahwa sinergi antara Bank Umum Konvensional dan UUS yang sebenarnya lebih berpengalaman dalam pengelolaan kredit macet belum berjalan dengan baik. Berdasarkan pengalaman penulis terdapat pengaruh menurunnya tingkat kondisi perekonomian yang dapat mempengaruhi meningginya NPF perbankan syariah karena industri ini bergerak di sektor riil. Ketika ada gangguan di sektor riil maka secara pasti perbankan syariah juga akan mengalami gangguan dengan meningkatnya pembiayaan bermasalahnya.
Konversi UUS Selain isu pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah di Unit Usaha Syariah (UUS) terdapat satu titik kritis lagi yang merupakan suatu hal yang strategis dipikirkan oleh 20 UUS perbankan syariah. Isu itu adalah isu
spin off atau konversi UUS. Amanah Undang-undang Perbankan Syariah telah menyatakan bahwa paling lambat tahun 2023 atau 2,5 tahun dari sekarang seluruh UUS yang ada saat ini harus melakukan pemisahan apakah melalui
spin off atau konversi. Sejarah telah mencatat pilihan
spin off telah dilaksanakan dengan sukses oleh BNI Syariah. Sedangkan pilihan konversi baru saja dilaksanakan oleh Bank NTB Syariah. Baik pilihan melakukan
spin off maupun konversi ini harus dipilih 20 UUS ini adalah titik kritis dalam pengembangan industri perbankan syariah di masa depan. Keputusan ini harus diambil tahun 2020 diera
new normal ini. Titik kritis ini menurut penulis sangat menentukan sehingga harus dipersiapkan mulai tahun ini pada kesempatan pertama. Dukungan keputusan pemegang saham, support Teknologi Informasi (TI) dan kesiapan Sumber Daya Insani (SDI) kompeten harus menjadi pertimbangan utama pengambilan keputusan kritis 20 UUS di tahun 2020. Berdasarkan pengalaman yang ada menunjukkan bahwa proses implementasi keputusan baik itu konversi ataupun
spin off UUS membutuhkan waktu minimal 2-3 tahun. Dengan demikian waktu yang tersisa untuk persiapan makin sedikit.
Opsi manapun yang dipilih hendaknya diputuskan tahun ini sehingga terdapat persiapan yang matang bagi seluruh UUS untuk mempersiapkan
spin off dan konversinya. Bila terlambat dikhawatirkan perbankan syariah akan kehilangan momentum strategis dalam pengembangan bisnisnya. Penulis : Bambang Rianto Rustam Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti