Perbankan Syariah Dukung Penghapusan Kewajiban Spin-off UUS



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri perbankan syariah dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) mendukung Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang menghapuskan kewajiban pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Induk di tahun 2023.

Dalam RUU P2SK tersebut, diatur mengenai kewajiban pemisahan untuk UUS hanya berlaku apabila porsi aset telah mencapai 50% atau lebih dari Bank Induknya. Itu tertuang dalam pasal 68 ayat 1.

Hadirnya RUU P2SK tersebut tentu menjadi harapan baru bagi para insan perbankan syariah, khususnya UUS, yang saat ini tengah menghadapi tenggat untuk melakukan spin-off dari Bank Induknya pada tahun 2023 sesuai amanat UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.


Direktur Syariah Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Pandji P. Djajanegara menyatakan, amanat UU Perbankan Syariah tersebut memang untuk meningkatkan pertumbuhan dan memperkuat perbankan syariah di Indonesia.

Baca Juga: LPS Sebut Ruang Penurunan Suku Bunga Mulai Terbatas, Ini Penyebabnya

Namun, berkaca dari kondisi perbankan syariah saat ini, penerapan kebijakan spin-off UUS pada 2023 dikhawatirkan kontra produktif dari tujuan tersebut.

Menilik data OJK, per Desember 2021, market share perbankan Syariah masih di kisaran 6,7%. Hal ini tentunya masih memiliki gap yang besar terhadap roadmap Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada 2024 sebesar 20% pangsa pasar dari keseluruhan industri keuangan syariah.

Kinerja UUS dalam lima tahun terakhir terbukti dapat berkontribusi lebih terhadap share Bank Induknya. Kontribusi rata-rata aset Top 5 UUS terhadap share Bank Induknya mencapai 14%. Artinya, jika model bisnis UUS dipertahankan maka bisa diandalkan untuk mempercepat pencapaian target 20% aset perbankan nasional 2024.

“Jika kewajiban spin-off diterapkan pada 2023, maka akan lahir sekitar 21 Bank Umum Syariah (BUS) baru dengan modal cekak dan kemampuan terbatas. Akibatnya, alih-alih akan mempercepat pertumbuhan market share sebaliknya membuat perbankan syariah tidak kompetitif. Hal ini tentu bertentangan dengan arahan konsolidasi perbankan dari OJK,” kata Pandji dalam Media Gathering CIMB Niaga Syariah dan Asbisindo, Senin (15/8).

Baca Juga: BSI Bidik Transaksi Perbankan Syariah di Lingkungan Muhammadiyah

Di sisi lain, lanjut Pandji, tingkat pelayanan kepada nasabah dan masyarakat juga akan memburuk, karena BUS hasil spin-off dengan modal kecil belum dapat menyediakan infrastruktur dan tenaga ahli yang setara dengan bank induknya. Padahal selama ini nasabah telah merasakan standar pelayanan yang  memuaskan dari bank induk, misalnya layanan perbankan digital melalui super app maupun internet banking.

Apalagi bila ditambah penyesuaian pricing pembiayaan BUS hasil spin-off akan menjadi lebih tinggi karena keterbatasan likuiditas, sumber dana yang mahal dan rating bank rendah.

“Kondisi ini akan merugikan sekitar 6,5 juta nasabah UUS. Jika hal ini terjadi, dampak lanjutannya bisa menggerus risiko reputasi perbankan syariah,” ujar Pandji.

Pandji menegaskan, kewajiban spin-off UUS tahun depan perlu ditinjau ulang karena bisa berdampak terhadap melemahnya pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia. Pelemahan ini bisa terjadi karena penambahan jumlah entitas dengan skala ekonomi yang relatif kecil sehingga tidak akan melahirkan ekosistem industri keuangan yang cepat dan pesat.

Sementara itu, pada konteks yang lebih luas, kondisi makro ekonomi saat ini juga tidak kondusif. Bank Induk dari UUS masih berfokus pada penjagaan kualitas aset akibat pandemi dan recovery-nya. Di samping tetap waspada terhadap ancaman potensi resesi global.

Baca Juga: Begini Perkembangan Hapus Buku Kredit Perbankan Sepanjang Semester I 2022

“Keberadaan UUS selama ini juga telah berhasil mempercepat literasi dan inklusi perbankan syariah dengan menjangkau beragam kalangan nasabah secara universal. Melalui strategi Syariah First dan syariah untuk semua, masyarakat dari kalangan rasional telah banyak menjadikan UUS sebagai pilihan perbankan syariahnya,” kata Pandji.

Dari sisi ekosistem keuangan syariah, eksistensi UUS juga penting. UUS dengan bank induknya yang termasuk ke dalam Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) 3 dapat membantu bank syariah lain sebagai counterparty yang setara/kuat untuk interbank, risk sharing/sindikasi dan squaring hedging position. Hal ini tentu tidak bisa didapatkan ketika UUS menjadi BUS dengan modal terbatas.

”Mengingat model bisnis UUS dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam langkah stretagis pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia, maka kami mendorong agar model bisnis UUS dipertahankan,” tutup Pandji.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari