JAKARTA. Akibat belum ada kesepakatan soal kenaikan harga tersebut muncul kekhawatiran, jika harga dari kedua kementerian berbeda akan menimbulkan penantian lebih panjang. Salah satu pihak yang was-was dengan hal itu adalah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI). Dewan Pengurus Pusat (DPP) APERSI sampai saat ini masih menanti keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) M Chatib Basri. Menkeu memutuskan akan mengkaji kembali usulan Kementerian Perumahan Rakyat atas harga rumah bersubsidi itu dengan meminta masukan dari Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). APERSI was-was lantaran kedua harga, baik yang ditetapkan Kemenpera maupun Kemen PU bisa berbeda. Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal APERSI, Endang Kawijaya, di Jakarta, Rabu (26/3). Menurut dia, perbedaan tersebut akan menimbulkan penantian lagi. Endang mengaku khawatir meskipun Kemen PU dinilai lebih rutin melakukan tender dan indeks harganya berkembang dari waktu ke waktu. Sebelumnya, Ketua DPP APERSI (hasil munas Jakarta) Anton R. Santoso mengungkapkan, bahwa hal ini bisa menghambat kinerja pengembang membangun rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Endang dan Anton sepakat, praktik yang berlangsung di lapangan membuktikan bahwa para pengembang kini tengah mengalami dilema. Daripada jual murah, menurut mereka berdua, pengembang memilih menunggu. Alhasil, mereka pun menahan stoknya. "Umpamanya begini. Sekarang Kemenpera katakan angka Rp 88 juta naik jadi Rp 105 juta. Angka ini tidak diterima serta-merta oleh Menteri Keuangan. Wajarlah mereka kemudian minta ke PU. Katakanlah kalau nanti di PU timbul angka Rp 99 juta, bukan Rp 105 juta. Berarti, mana yang mau dipakai oleh Menkeu, sedangkan kita semua menunggu hasil dari Menkeu," ujar Endang. Lantas, APERSI yang digawanginya punya formula tersendiri. "Daripada menunggu lagi, dan akan mungkin terjadi terus. Mengapa tidak kita SOP-kan saja. Kalau ada selisih, selisihnya saja yang dikenakan 10%," kata Endang. Usulan tersebut merupakan hasil gabungan antara ide APERSI dan HUD yang dipimpin oleh Zulfi Syarif Koto. "Toh, yang Rp 99 juta sudah dua menteri, yang satu di atas, yang satu pas (angkanya). Sudah pasti ini di-ACC. Hanya, ada selisih sedikit lagi untuk ranah agak umum. Nah, kenapa tidak ini saja, yang selisih Rp 6 juta, kena 10%, jadi hanya Rp 600.000. Kalau kena 10% dari Rp 105 juta, kan banyak itu. MBR akan keberatan," ujar Endang. Selain usulan tersebut, pada kesempatan sama, DPP APERSI (versi munas Jakarta) juga melantik delapan DPD APERSI dan menyerukan pentingnya keberadaan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kedelapan DPD tersebut adalah Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, dan NTB. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Perbedaaan harga rumah bersubsidi mengkhawatirkan
JAKARTA. Akibat belum ada kesepakatan soal kenaikan harga tersebut muncul kekhawatiran, jika harga dari kedua kementerian berbeda akan menimbulkan penantian lebih panjang. Salah satu pihak yang was-was dengan hal itu adalah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI). Dewan Pengurus Pusat (DPP) APERSI sampai saat ini masih menanti keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) M Chatib Basri. Menkeu memutuskan akan mengkaji kembali usulan Kementerian Perumahan Rakyat atas harga rumah bersubsidi itu dengan meminta masukan dari Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). APERSI was-was lantaran kedua harga, baik yang ditetapkan Kemenpera maupun Kemen PU bisa berbeda. Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal APERSI, Endang Kawijaya, di Jakarta, Rabu (26/3). Menurut dia, perbedaan tersebut akan menimbulkan penantian lagi. Endang mengaku khawatir meskipun Kemen PU dinilai lebih rutin melakukan tender dan indeks harganya berkembang dari waktu ke waktu. Sebelumnya, Ketua DPP APERSI (hasil munas Jakarta) Anton R. Santoso mengungkapkan, bahwa hal ini bisa menghambat kinerja pengembang membangun rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Endang dan Anton sepakat, praktik yang berlangsung di lapangan membuktikan bahwa para pengembang kini tengah mengalami dilema. Daripada jual murah, menurut mereka berdua, pengembang memilih menunggu. Alhasil, mereka pun menahan stoknya. "Umpamanya begini. Sekarang Kemenpera katakan angka Rp 88 juta naik jadi Rp 105 juta. Angka ini tidak diterima serta-merta oleh Menteri Keuangan. Wajarlah mereka kemudian minta ke PU. Katakanlah kalau nanti di PU timbul angka Rp 99 juta, bukan Rp 105 juta. Berarti, mana yang mau dipakai oleh Menkeu, sedangkan kita semua menunggu hasil dari Menkeu," ujar Endang. Lantas, APERSI yang digawanginya punya formula tersendiri. "Daripada menunggu lagi, dan akan mungkin terjadi terus. Mengapa tidak kita SOP-kan saja. Kalau ada selisih, selisihnya saja yang dikenakan 10%," kata Endang. Usulan tersebut merupakan hasil gabungan antara ide APERSI dan HUD yang dipimpin oleh Zulfi Syarif Koto. "Toh, yang Rp 99 juta sudah dua menteri, yang satu di atas, yang satu pas (angkanya). Sudah pasti ini di-ACC. Hanya, ada selisih sedikit lagi untuk ranah agak umum. Nah, kenapa tidak ini saja, yang selisih Rp 6 juta, kena 10%, jadi hanya Rp 600.000. Kalau kena 10% dari Rp 105 juta, kan banyak itu. MBR akan keberatan," ujar Endang. Selain usulan tersebut, pada kesempatan sama, DPP APERSI (versi munas Jakarta) juga melantik delapan DPD APERSI dan menyerukan pentingnya keberadaan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kedelapan DPD tersebut adalah Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, dan NTB. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News