Perdamaian PKPU Asmin Koalindo digugat



Jakarta. Homologasi yang terjadi antara PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) dengan para krediturnya terancam batal. Pasalya, Noble Resources International dan Standard Chatered Bank mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Adapun dalam memori kasasi yang didapat KONTAN, Selasa (19/4), keduanya mengaku keberatan atas pengesahan perdamaian dalam hal penolakan tagihan saat restruturisasi utang (PKPU) AKT. Mereka merasa keputusan perdamaian itu tidak berdasar.

Adapun baik Standard Chatered dan Noble mngejukan kasasi Mahkamah AGung ini pada 11 dan 12 April 2016. Noble yang diwakili kuasa hukumnya dari kantor hukum Siregar Setiawan Manalu mengatakan, kontrak-kontrak offtake yang dijalani kliennya dengan AKT adalah sah dan mengikat. Sehingga memiliki alasan hukum yang jelas dan sah untuk mengajukan kasai ini.


Noble keberatan dengan alasan pengurus yang mengatakan kontrak-kontrak offtake antaran Noble dan AKT itu dihapus demi hukum karena royalti sebagai iuran produksi atas usaha pertambangan belum dibayarkan kepada pemerintah Indonesa.

"Alasan tersebut bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan mengenai kewajiban pembayaran royalti yang telah disepakati kedua pihak berdasarkan kontrak tersebut," jelasnya.

Ia juga menjelaskan, di dalam Pasal 16 kontrak-kontrak offtake, Noble dan AKT telah sepakat memperjanjikan bahwa pembayaran royalti kepada pemerintah itu ditanggung oeleh AKT sebagai penjual batubara. Dengan demikian, menueurtnya, kontrak-kontrak offtake itu tak dapat diputus sepihak hany akarena AKT tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar royalti.

Sekadar tahu saja, sebelumnya pada 15 November 2011 Noble dan AKT telah menandatangani kontrak-kontrak offtake berupa perjanjian pengelolaan persediaan batubara. Dalam kontrak itu, ditentukan Noble selaku pembeli menyetujui untuk membeli batubara dalam jumlah besar yang diproduksi AKT dari operasi batubara yang berlokasi di Kalimantan Tengah.

Dalam perjalanannya, Noble dan AKT membuat jaminan fidusia dengan objek jaminan berupa persediaan batubara pada tahun lalu. Pasalnya, AKT belum bisa melunasi utangnya kepada Noble.

Adapun hingga saat ini, NOble mengklaim berdasrakan kontrak-kontrak offtake itu telah terbukti pihaknya merupakan kreditur AKT dengan total utang US$ 104,46 juta atau setara dengan Rp 1,45 triliun.

Sementara itu, bagi Standard Chatered penolakan tagihan terhadap pihaknya oleh pengurus PKPU dinilai tidak berdasar. "Sudah jelas AKT setuju untuk menjadi penjamin dari Borneo," tulis kuasa hukum Standard Chatered dari kantor hukum Dewi Negara Fachri & Partners dalam berkas.

Pasalnya, dapat dilihat AKT adalah pihak yang menandatangani perjanjian fasilitas dan jaminan sebagaimana diatur dalam salah satu klausul perjanjian fasilitas. Dengan demikian, ia mengklaim sudah jelas AKT merupakan penjamin atas suatu jumlah utang kepada Standard Chatered yang dimiliki Borneo.

Apalagi sesuai dengan klausul perjanjian pengalihan AKT pada 16 Januari 2012 yang diberikan oleh AKT kepada Standard Chatered Bank Hong KOng sebagai agen jaminan luar negeri berdasarkan perjanjan fasilitas. Dimana, AKT telah setuju dan sepakat untuk membebaskan setiap kewajiban yanjg dijaminkan pada tanggal jatuh tempo sesuai dengan syarat masing-masing tersebut.

"Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian fasilitas dan dokumen-dokumen jaminan, AKT merupakan pihak yang berkewajiban utama," tambah dia.

Lalu terkait alasan bantahan ppengurus yang menyatakan, tidak adanya persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memberikan jaminan alam perjanjian fasilitas seperti dalam Peraturan Menteri ESDM No 18 Tahun 2009. Standard Chatered bilang, pihaknya memiliki kewajiban untuk memastikan terpenuhinya setiap persetujuan atau izin yang dipersyaratkan berdasarkan hukum Indonesia yang berlaku sebelum mengadakan hubungan kontraktual.

Sekadar tahu saja, pada 2012 lalu Standard Chatered memberikan fasilitas pinjaman kepada PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk sebesar US$ 1 miliar. Adapun jaminan dari pinjaman itu adalah 99,9% saham AKT yang notabene anak usaha dari Borneo.

Sehingga saat proses PKPU AKT, Standrad Chatered mengajukan tagihan kepada AKT sebagai penjamin dan juga sebagai pihak yang berkewajiban utama berdasarkan perjanjian fasilitas tersebut. Namun pada 22 Maret 2016, perngurus PKPU menolak tagihan yang diajukan Standrad Chatered.

Adapun tagihan yang diajukan Standrad Chatered kepada tim pengurus sejumlah US$ 628,01 juta. Dengan demikian dalam petitum permohonan kasasinya Noble dan Standard Chatered meminta kepada majelis hakim MA untuk menerima dan mengabulkan permohonan dan memori kasasi untuk seluruhnya.

Sekadar tahu saja, apabila nantinya, permohonan kasasi diterima oleh majelis, maka resiko yang dialami AKT adalah jatuh dalam kepailitan. Mengenai hal ini, kuasa hukum AKT Hotman P. Hutapea mengatakan jutru pihak bank asing telah keliru dalam memberikan fasilitas pinjaman dengan agunan yang ilegal.

"Agunan yang diberikan AKT berupa hasil tambang batubara milik negara sesuai dengan UUD 1945 tentang kekayaan bumi, kreditur bank asing seharusnya memperhatikan aspek hukum tersebut sebelum bersedia mengucurkan dana pinjaman agar tak menjadi sengketa" ungkap dia, Selasa (19/4).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto