Perdana Menteri Belanda Minta Maaf atas Perbudakan Selama 250 Tahun



KONTAN.CO.ID - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf secara resmi pada hari Senin (19/12/2022) atas nama pemerintah Belanda terkait keterlibatan dalam perbudakan selama lebih dua abad atau 250 tahun. 

Melansir The Washington Post, Rutte meminta maaf dalam rangka peringatan 160 tahun berakhirnya perbudakan di kolono-koloni luar negeri Belanda.

Berbicara di Arsip Nasional, yang dia sebut sebagai “rumah kenangan nasional kita,” Rutte mengatakan cerita yang muncul dari jutaan dokumen sejarah itu “sering kali jelek, menyakitkan, dan bahkan sangat memalukan.”


Rute menjelaskan, pada tahun 1814, lebih dari 600.000 orang Afrika yang diperbudak dikirim ke Amerika, sebagian besar ke Suriname di pantai utara Amerika Selatan, oleh pedagang budak Belanda. Di Asia, lebih dari 1 juta orang diperdagangkan di wilayah-wilayah di bawah Perusahaan Hindia Timur Belanda.

Dalam pidatonya yang berdurasi kira-kira 20 menit, Rutte menguraikan sejarah singkat tentang perdagangan budak dan perubahan pemikiran pribadinya tentang permintaan maaf.

Baca Juga: Argentina Menang Piala Dunia 2022, Simak Daftar Juara Piala Dunia dari Masa ke Masa

"Selama berabad-abad, Negara Belanda dan perwakilannya memfasilitasi, mendorong, memelihara, dan mengambil keuntungan dari perbudakan.

Selama berabad-abad, atas nama Negara Belanda, manusia dijadikan komoditas, dieksploitasi dan dilecehkan.

Selama berabad-abad, di bawah otoritas negara Belanda, martabat manusia dilanggar dengan cara yang paling mengerikan.

Dan pemerintah Belanda berturut-turut setelah tahun 1863 gagal untuk melihat dan mengakui secara memadai bahwa masa lalu perbudakan kita terus memiliki efek negatif dan masih demikian.

Untuk itu saya sampaikan permintaan maaf pemerintah Belanda. Hari ini saya minta maaf. 

Dia menawarkan permintaan maafnya kepada orang-orang yang diperbudak di masa lalu, serta keturunan mereka. 

Dia mengatakan permintaan maaf itu akan digaungkan di tujuh tempat lain di mana konsekuensi perbudakan paling terlihat, termasuk Suriname, Curaçao, dan St. Maarten.

Dia menambahkan bahwa pemerintah akan menciptakan dana untuk inisiatif sosial di Belanda dan Suriname yang bertujuan untuk memberikan perhatian dan tindakan yang layak untuk sejarah perbudakan. Associated Press melaporkan, dana itu mencapai 200 juta euro ($212 juta).

Baca Juga: AS Tambahkan Puluhan Perusahaan China ke Daftar Hitam Perdagangan

Reuters melaporkan, beberapa kelompok aktivis menginginkan permintaan maaf datang dari raja Belanda, dan dilakukan pada peringatan 160 tahun penghapusan perbudakan. 

Rutte juga mengatakan, dia ingin terbuka tentang perubahan berpikirnya secara pribadi tentang permintaan maaf historis. 

Untuk waktu yang lama, katanya, dia berpikir orang-orang saat ini tidak dapat dengan mudah mengambil tanggung jawab yang berarti atas sesuatu yang terjadi di masa lalu.

Namun, dia menyadari bahwa perbudakan bukanlah sesuatu di belakang kita, dan bahwa penindasan selama berabad-abad masih berdampak hingga hari ini, mencantumkan pengucilan yang diskriminatif, ketidaksetaraan sosial, dan stereotip rasis.

“Memang benar bahwa tidak ada seorang pun yang hidup sekarang secara pribadi yang harus disalahkan atas perbudakan,” katanya, seraya menambahkan bahwa benar juga bahwa negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan tersebut.

The Guardian melaporkan, Rutte mengatakan bahwa orang harus mengutuk perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai sistem kriminal yang menyebabkan penderitaan yang tak terhitung banyaknya bagi orang-orang.

Dia menunjuk ke catatan arsip nasional tentang perbudakan, termasuk buku-buku yang mencantumkan nama dan beberapa detail orang yang diperbudak sebagaimana didaftarkan oleh pemilik mereka. 

Dia menambahkan bahwa pemerintah Belanda dan dia secara pribadi, berharap permintaan maaf dan peringatan tersebut akan mengisi halaman kosong yang ada di depan dengan dialog, pengakuan dan penyembuhan.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie