Peredaran produk baja tanpa SNI mengganggu industri domestik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai tantangan dan kendala dihadapi oleh produsen baja dalam negeri saat ini. Di tengah persaingan yang semakin sengit dengan produk impor, pasar baja dalam negeri semakin tidak kondusif dengan adanya peredaran produk baja karbon dari Morowali yang belum ber-SNI.

Diketahui bahwa saat ini terdapat peredaran produk-produk baja HRC murah yang telah beredar di beberapa daerah di Pulau Jawa, antara lain di Pasuruan, Jawa Timur, dan Balaraja, Banten. 

Berdasarkan label produk yang melekat di coil barang tersebut berasal dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, yang merupakan grup perusahaan Tsingshan China. Diketahui secara luas bahwa lokasi pabrik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry adalah di Morowali, Sulawesi Tengah.


Komisaris PT Krakatau Stee Tbk (KRAS) Roy Maningkas menuturkan, bila ditinjau dari aspek perizinan dan fasilitas produksinya, maka pabrik-pabrik di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) tersebut hanya untuk memproduksi dan memperoleh izin untuk menjual baja tahan karat (stainless steel). 

"Sementara produk HRC yang beredar secara luas jelas-jelas merupakan produk baja karbon yang dijual dengan harga murah," kata Roy dalam siaran persnya, Minggu (9/9).

Lebih lanjut Roy menambahkan, fasilitas dan proses produksi baja tahan karat berbeda dengan fasilitas dan proses produksi baja karbon. "Oleh karenanya kami tidak habis pikir bagaimana mungkin mereka bisa menjual produk baja HRC karbon, tentunya ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat," paparnya.

Roy menduga bahwa produk-produk HRC yang beredar itu bukan berasal dari produksi Morowali, melainkan berasal dari impor. “Dari label produk tidak terlihat adanya logo SNI ataupun nomor registrasi produk (NRP) yang merupakan persyaratan peredaran produk baja HRC di Indonesia, bahkan terlihat tulisan China di label tersebut," kata Roy.

Beberapa produsen dalam negeri saat ini seperti Krakatau Steel dan Gunung Garuda sedang melakukan investasi pengembangan kapasitas untuk mendapatkan penghematan biaya operasi yang dimungkinkan dengan skala ekonomi yang lebih besar. 

Namun investasi pengembangan kapasitas akan terkendala jika terjadi persaingan tidak sehat di pasar dalam negeri. “Persaingan sangatlah wajar dihadapi dalam dunia usaha. Kami tidak khawatir jika persaingan dilakukan secara sehat,” tegas Roy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .