Jakarta. Untuk membedakan uang asli dan palsu sekarang tidak cukup dengan dilihat, diraba, dan diterawang alias 3D. Sebab, pembuat uang abal-abal makin canggih. Uang palsu makin sulit dikenali hanya dengan melakukan prinsip 3D. Perkembangan cara pembuatan uang palsu, menurut Komisaris Besar Pol Agus Irianto, Kasubdit Kejahatan Mata uang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri, seiring sejalan dengan kemajuan teknologi. Oleh sebab itu, tak aneh, meski banyak masyarakat yang paham prinsip 3D, tidak sedikit yang masih terkecoh dengan uang palsu. Tak berhenti sampai di situ, modus peredaran rupiah palsu juga kian beragam. Dari hasil pengungkapan kasus yang disampaikan kepolisian kepada Bank Indonesia (BI), paling tidak ada delapan modus peredaran uang palsu yang sering dilakukan. Contoh, pelaku berbelanja barang atau melakukan pembayaran dengan memakai uang palsu.
Sementara, berdasarkan jenis kejadian, ada dua modus peredaran uang palsu. Pertama, locus delicti atawa berdasarkan tempat kejadian. Peredaran uang palsu banyak terjadi di Pulau Jawa termasuk di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Maklum, peredaran uang kartal di daerah ini memang lebih besar. Selain itu, juga didukung faktor demografi. Lokasi peredarannya terpusat di tempattempat yang orangnya tak peduli uang asli atau palsu, misalnya, di pedagang kakilima. “Kalau ke mal, pasti ada alat ultraviolet. Pedagang kecil, kan, tidak punya,” kata Agus. Kedua, tempus delicti alias berdasarkan waktu kejadian. Agus bilang, peredaran uang palsu biasanya terjadi malam hari. Pasalnya, saat-saat seperti itu, konsentrasi orang makin menurun, kemampuan penglihatan juga lebih terbatas. Meski begitu, kesulitan mengenali uang palsu tak cuma lantaran modus pembuatan dan peredarannya yang kian canggih. Faktor psikologis dan ketelitian masyarakat juga memainkan peranan penting. Berdasarkan penelusuran Tabloid KONTAN di beberapa lokasi yang rawan peredaran uang palsu, itulah faktor utama yang kerap membuat orang terkecoh dengan duit yang palsu. Pasar Tradisional Pedagang di pasar tradisional menjadi sasaran empuk para pengedar uang palsu. Lihat saja nasib malang yang menimpa Nurhayati, pedagang pakaian di sebuah pasar tradisional, Depok, Jawa Barat. Tahun ini, dalam dua bulan berturut-turut, sudah dua kali barang dagangannya dibayar dengan uang palsu. Keduanya ialah rupiah palsu pecahan Rp 100.000. Uang palsu pertama yang Nurhayati dapat mirip dengan yang uang asli. Sedang uang palsu yang kedua, warna merahnya pudar. “Duitnya kalau diremas malah bangun lagi. Terus enggak ada garis-garis dekat angka 100.000,” ujar dia. Kejadian pertama terjadi awal Februari 2014 lalu. Saat itu, kebetulan kios miliknya sedang ramai pembeli. Saking ramainya, ia tidak sempat memeriksa uang pembayaran pakaian yang diberikan oleh para pembeli. Alhasil, ketika menghitung hasil penjualan hari itu, perempuan berusia 30 tahun ini menemukan selembar uang palsu pecahan Rp 100.000. Lalu, kejadian kedua Nurhayati alami awal Maret ini. Ketika itu, seorang laki-laki membeli sepotong celana pendek seharga Rp 15.000. Pembeli ini membayar belanjaannya dengan uang pecahan Rp 100.000. Tanpa rasa curiga, ayah Nurhayati yang kebetulan melayani si pembeli menerima uang tersebut. “Waktu itu bapak saya yang menerima, duit masuk kantong saja, enggak diperiksa sama dia,” ujar Nurhayati. Di kawasan perdagangan Tanah Abang, Jakarta, uang palsu juga marak beredar. Pakan lalu, Upik, pedagang pakaian perempuan di Pasar Jati Baru ikut menjadi korban. Saat itu, kiosnya tengah ramai pembeli sehingga dia tidak mengecek satu per satu uang yang diterima dari pembeli. “Tapi saya tahu orangnya, ibu-ibu, belanja Rp 700.000 lalu dia selipin tiga lembar duit Rp 50.000,” kata perempuan berjilbab ini. Upik baru sadar mendapat uang palsu ketika menyetorkan hasil jualannya ke bank. Oleh pegawai bank, ketiga lembar uang Rp 50.000 itu dikembalikan karena terbukti palsu. Upik bercerita, sebelumnya masih di Maret 2014, keponakannya juga mengalami kejadian serupa ketika berdagang di kawasan Monas, Jakarta. Dua bulan lalu, rekan Upik sesama pedagang yang berjualan tak jauh dari kiosnya di Pasar Jati Baru juga dibayar dengan uang palsu pecahan Rp 100.000. “Lagi musim pemilu juga kali, ya. Tapi saya enggak bisa bandingin dengan tahun lalu karena memang baru kali ini mendapat uang palsunya,” ujarnya. Stasiun Keretaapi Di stasiun kereta api, peredaran uang palsu juga tak kalah marak. Dalam dua bulan terakhir, Stasiun Depok, Jawa Barat, dua kali kebobolan uang palsu. Menurut Sasmita, Obsetter Administration Stasiun Depok, di Februari lalu, ia menemukan selembar uang palsu pecahan Rp 100.000. Sedang pada Maret ini, petugas loket menjumpai satu lembar uang palsu Rp 20.000. Kejadian yang pertama, Sasmita menjelaskan, terjadi di pagi hari ketika antrean calon penumpang Commuter Line yang hendak berangkat kerja mengular di depan loket penjualan tiket. Sejatinya, setiap loket dilengkapi dengan alat pendeteksi uang. Cuma saking banyaknya calon penumpang yang antre, si petugas tidak menggunakan alat itu dan mengandalkan penglihatan semata. Alhasil, ketika uang hasil penjualan tiket kereta diserahkan ke Sasmita, ia menemukan selembar uang palsu pecahan Rp 100.000. Sebagai sanksi atas kelalaiannya, petugas loket itu diharuskan mengganti uang tersebut. “Itu duit palsu masih saya simpan di ruangan saya. Untuk contoh supaya jangan sampai kedapatan uang palsu lagi,” kata Sasmita. Peristiwa yang kedua dilakukan seorang lelaki paruh baya dengan mengajak petugas loket mengobrol lebih dulu. Sesaat sebelum keretaapi berangkat, laki-laki itu membayar tiket kereta. Begitu tiket dan uang kembalian sudah di tangan, si pengedar uang palsu pun langsung masuk ke dalam keretaapi. Petugas loket yang telat menyadari uang yang dia terima adalah palsu, tak sempat mengejar si pelaku. Saking kesalnya, Sasmita mengungkapkan, petugas loket itu langsung merobek-robek uang palsu bernominal Rp 20.000 tersebut. Berbeda dengan di Stasiun Depok, beruntung Stasiun Tanah Abang tahun ini belum pernah tertipu rupiah palsu. Kejadian uang palsu terakhir, Jajat Sudrajat, Kepala Stasiun Tanah Abang, mengatakan, mereka alami menjelang pergantian tahun di Desember 2013. Untuk mengecoh, si pengedar uang palsu melipat uang yang akan diserahkan ke petugas loket. Ada juga yang membeli tiket keretaapi dalam jumlah banyak, lalu menyelipkan beberapa uang palsu di antara uang asli yang mereka berikan. Nah, saking banyaknya penumpang yang membeli tiket waktu itu, petugas loket tidak sempat memeriksa uang yang dia terima. ”Pas setor baru ketahuan. Ya, jadinya, petugas tersebut nombok,” beber Jajat. Seperti di Stasiun Depok, loket penjualan tiket Stasiun Tanah Abang juga dilengkapi dengan alat pendeteksi uang palsu. Cuma, petugas loket terkadang hanya menerawang uang yang ia curigai palsu dengan bantuan cahaya dari layar monitor komputer. Dalam kondisi ramai calon penumpang, pemeriksaan semacam ini kadang diabaikan. Maklum, dalam sehari ada 40.000 orang yang naik kereta dari stasiun ini. SPBU Lokasi yang juga rawan menjadi tempat peredaran uang palsu adalah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pasalnya, tingkat peredaran uang di tempat mengisi bahan bakar minyak (BBM) ini sangat tinggi. Plus, sebagian besar memakai transaksi tunai. Sebagai gambaran, setiap hari rata-rata SPBU melayani sekitar 10.000 transaksi penjualan BBM. Terdapat 30 operator hingga 50 operator dispenser yang terbagi dalam dua sampai tiga sif kerja. Kalau menggunakan asumsi ini, artinya tiap operator rata-rata mesti melayani antara 200 transaksi hingga 333 transaksi saban hari. Modus operasi di SPBU adalah membeli BBM dengan menggunakan uang palsu pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000. “Biasanya berlangsung tengah malam atau subuh,” kata Tubagus Sutisna, Ketua Departemen Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Sutisna juga sempat menjadi korban pengedar uang palsu. Kejadiannya Januari 2014 lalu di SPBU miliknya di Jalan Lingkar Selatan, Bandung. Model transaksi di SPBU memang menguntungkan bagi pengedar duit palsu. Dengan skema isi BBM dulu baru bayar, jika operator curiga, si pengedar bisa buru-buru kabur. “Mau mengejar juga bagaimana,” keluhnya. Selain itu, operator SPBU harus melayani konsumen sembari tetap memeriksa keaslian uang pembayaran BBM dengan cara manual yakni 3D. Metode ini memang masih tergolong ampuh, meski bukan berarti bebas risiko. Faktor human error kerap membuat uang palsu lolos dibelanjakan. Maklum, karena harus berhadapan dengan begitu banyak konsumen, kadang-kadang ada saja transaksi uang palsu yang lolos.
Hingga saat ini, belum ada satu pun SPBU yang menggunakan alat pendeteksi uang palsu. Sutisna bilang, kalau pun ada, biasanya alat itu ditempatkan di dalam kantor pengelola SPBU untuk mengecek uang sebelum disetorkan ke bank. Alasannya macam-macam. Namun yang paling umum adalah soal efisiensi waktu karena banyak pembeli yang harus dilayani. Jam terbang operator SPBU juga bisa menjadi catatan. Semakin lama pengalaman kerja operator, kemampuannya mendeteksi uang palsu semakin mumpuni. Maklum, setiap hari kerjanya memang selalu bersentuhan langsung dengan uang. “Kalau operatornya sudah senior, jarang lolos,” ujar Eri Purnomohadi, Ketua Hiswana Migas yang juga pemilik SPBU di beberapa daerah. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 26 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander