Perekonomian Memburuk, Produksi Rokok Semester I Menurun



JAKARTA. Kondisi ekonomi yang memburuk belakangan ini menggerus daya beli masyarakat untuk mengonsumsi rokok. Walhasil, para produsen rokok pun mengurangi jumlah produksinya. Sepanjang semester I 2008, produksi rokok nasional mengalami penurunan 1,63 % ketimbang semester sebelumnya.

Menurut Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan produksi rokok secara keseluruhan, baik rokok putih maupun kretek pada paruh pertama tahun ini hanya mencapai 120,6 miliar batang. Padahal, produksi rokok semester yang sama tahun lalu mencapai 122,6 miliar batang. "Penurunan produksi ini lebih disebabkan daya beli masyarakat ke rokok mengalami penurunan," ungkap Moefti kepada KONTAN, hari ini (25/8).

Penyebab penurunan daya beli itu, kata Moefti, karena kondisi ekonomi yang memburuk sekarang ini. "Kemungkinan pendapatan masyarakat turun karena kenaikan BBM yang berimbas luas ke kenaikan harga-harga. Akibatnya, pembelian orang ke rokok pun juga berkurang," terangnya.


Selain itu, ia mengungkapkan, produksi rokok putih sendiri mengalami kemerosotan selama semester I tahun ini ketimbang semester yang sama tahun 2007 lalu. Catatan Moefti menyebutkan, produksi rokok putih semester I tahun ini mencapai 8,3 miliar batang. Itu berarti, terjadi penurunan produksi sebesar 4,59% dibanding semester yang sama tahun lalu sebanyak 8,7 miliar batang.

Sayang, Moefti enggan berkomentar tentang prediksinya tentang produksi rokok pada semester II ini. "Saya bukan ahli nujum (ramal). Jadi, kalau mau prediksi tidak bisa sebab data rinci saja tidak cukup," tandasnya.

Kebijakan Cukai Mendukung Produsen

Meski terjadi penurunan konsumsi, namun, Moefti menilai, kebijakan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini cukup membantu iklim usaha industri rokok di Indonesia. "Sejak Januari lalu, kebijakan pemerintah sudah berubah dan itu membawa angin cukup segar ke kalangan produsen rokok," tandasnya.

Dia menjelaskan, dulu kebijakan cukai itu memakai sistem ad valorem. Artinya, besar cukai berasal dari persentase harga banderol atau eceran di pasaran. "Sistem ini membuat kalangan produsen kurang diuntungkan karena harga penjualan gampang terdongkrak jika persentase naik," katanya.

Sedangkan, lanjutnya, sistem yang sekarang adalah ad valorem ditambah harga spesifik (harga rupiah per batang). Maksudnya, besar cukai persentase turun (berlaku tetap) dan perubahan harganya di sisi harga spesifik.

"Nah, kenaikan cukai tidak serta merta mendongkrak harga jual rokok di pasaran. Harga masih bisa dipertahankan. Artinya, beban cukai antara sistem lama dan baru ini hampir sama," urainya panjang lebar. Perubahan ini, lanjut Moefti, dilakukan pemerintah secara bertahap alias gradual sejak 2007 lalu dan mulai diterapkan awal tahun 2008.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie