Perempuan Rusia Berjuang Minta Pemerintah Pulangkan Para Laki-laki di Perang Ukraina



KONTAN.CO.ID - MOSKOW (Reuters) - Perempuan Rusia yang ditinggal suaminya untuk berperang melawan Ukraina mulai putus asa. Mereka saat ini berjuang agar pemerintahan Rusia segera membawa pulang suami mereka yang sudah bertugas lebih dari setahun di medan perang Uraina.

Salahsatunya adalah Maria Andreeva, yang suaminya telah berperang di Ukraina selama lebih dari setahun. Karena itu Maria saat ini tengah melakukan perjuangan di Moskow untuk membawanya pulang suaminya kembali ke keluarganya.

Maria Andreeva tidak sendirian. Ia bersama dengan istri-istri yang telah lama ditinggalkan oleh suaminya mulai menuntut agar Rusia menarik pasukan yang sudah lama bertugas.


Semakin banyak gerakan perempuan Rusia yang menuntut kembalinya suami, putra-putra mereka atau saudara laki-laki mereka yang telah dimobilisasi untuk wajib militer.  Mobilisasi itu setelah dikeluarkannya keputusan Presiden Vladimir Putin pada September 2022 lalu.

Awalnya, gerakan ini berjanji setia pada apa yang disebut Kremlin sebagai “operasi militer khusus” (SVO). Namun apa yang mereka anggap sebagai tanggapan asal-asalan yang mereka terima justru memperkuat pendapat mereka.

Sejak suami Andreeva dimobilisasi tahun lalu untuk berperang ke Ukraina, dia pernah kembali ke keluarganya hanya dua kali untuk istirahat yang singkat guna menemui istri dan putrinya yang masih kecil. Istrinya mengatakan waktu cuti yang sempit ini tidak cukup untuk seorang tentara yang berperang dalam suatu konflik.

“Kami ingin orang-orang kami didemobilisasi sehingga mereka dapat kembali ke rumah. Karena kami pikir selama lebih dari setahun mereka telah melakukan semua yang mereka bisa (untuk Rusia) – atau bahkan lebih,” kata Andreeva, 34, kepada Reuters dalam sebuah wawancara di Moskow.

“Bagi saya, ini bukan hanya perjuangan untuk memastikan putri saya punya ayah, tapi juga perjuangan untuk pernikahan saya.” katanya.

Mengatasi gerakan ini adalah masalah yang rumit bagi Kremlin.

Moskow, yang mengirimkan puluhan ribu tentara ke Ukraina sejak Februari 2022. Dibandingkan dengan perang-perang sebelumnya, Rusia menoleransi jumlah korban tewas yang lebih tinggi daripada yang bisa diterima secara politik di negara-negara Barat.

Namun meningkatnya pergerakan perempuan Rusia menggarisbawahi kompleksitas dan ketidaksetaraan bawaan yang menyebabkan begitu banyak laki-laki berperang dalam jangka waktu yang lama. Sementara lebih banyak lagi orang yang berada dalam usia berperang dan tetap berada di rumah.

Sekelompok ibu tentara Rusia juga berkampanye untuk kondisi yang lebih baik bagi putra-putra mereka yang bertugas di angkatan bersenjata ketika Uni Soviet runtuh. Kemudian mereka juga menuntut untuk kembalinya mereka dari perang di wilayah Chechnya, Rusia.

Hanya saja, terlalu dini untuk menilai besaran atau dampak pergerakan perempuan Rusia di masyarakat yang menurut klaim dari pihak berwenang Rusia, mereka mendukung upaya perang. 

Perempuan di Ukraina juga menuntut laki-laki mereka diizinkan kembali bertugas di barisan depan.

Ketika ditanya tentang bahayanya bersuara di masa perang di Rusia, Andreeva berkata: "Saya ingin Anda memahami: hal ini tidak lagi menakutkan karena tidak mungkin lagi menanggung semua ini. Ini sudah keterlaluan."

Reuters tidak mencari atau menerima informasi militer atau informasi sensitif lainnya dari Andreeva. Dia meminta suaminya tidak disebutkan namanya.

Kesetiaan kepada Negara

Ketika Putin memerintahkan mobilisasi sebagian 300.000 tentara cadangan pada September 2022, ratusan ribu pemuda bergegas meninggalkan Rusia. Sementara jutaan orang memilih untuk tidak pergi, sehingga beberapa dari mereka dipanggil untuk berperang atau mengikuti wajib militer.

Sejak itu, Rusia telah merekrut ratusan ribu tentara kontrak di provinsi-provinsi tersebut dengan iming-iming gaji yang tinggi. 

Menurut Dmitry Medvedev, mantan presiden yang kini menjadi wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, negaranya sejauh ini telah merekrut 452.000 tentara kontrak pada tahun ini, yang menggarisbawahi keunggulan jumlah yang dimiliki Rusia dibandingkan Ukraina.

Hanya saja petisi dari para perempuan Rusia untuk memulangkan laki-laki mereka hampir tidak mendapat tanggapan. Kementerian Pertahanan Rusia hampir tidak terlibat menanggapi tuntutan para perempuan tersebut.

Kementerian Pertahanan Rusia juga tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters.

Menurut Andreeva, kurangnya tanggapan telah membujuk beberapa perempuan untuk berhenti bersikap seperti “gadis baik” atas tuntutan mereka dan mengubah persepsi mereka terhadap konflik.

“Posisi kami pada awalnya adalah: Ya, kami memahami mengapa hal ini diperlukan, kami mendukungnya, kami menempati posisi yang agak loyal,” katanya. 

“Tetapi sekarang posisi – termasuk saya – berubah karena kami melihat bagaimana kami diperlakukan, dan bagaimana suami kami diperlakukan.”

Protes para perempuan Rusia yang direncanakan dengan aksi massa tidak mendapatkan persetujuan pihak berwenang. 

Pihak berwenang menuding Para perempuan tersebut telah di mobilisasi oleh para pembangkang dan partai oposisi yang berbasis di Barat. "Ini sebuah penghinaan tanpa dasar," kata Andreeva.

Menggutip dari jumlah partisipan di Saluran Telegram "Way Home" perempuan Rusia yang menuntut kembalinya laki-laki ini memiliki 23.000 anggota.

Janji Pemulangan

Bulan lalu, dua perempuan menghujani anggota parlemen Vitaly Milonov dengan pertanyaan blak-blakan tentang kepulangan laki-laki mereka dari medan perang. Namun mereka mendapatkan tanggapan menusuk atas upaya ini dan mengesampingkan pertanyaan mereka dengan kalimat tentang patriotismenya sendiri.

“Kami semua orang Rusia di sini,” sela seseorang dalam klip video yang diposting online. “Kapan mereka yang dimobilisasi akan diubah?”

"Tentu saja akan ada (pergantian). Kami akan menang dan semuanya..." kata Milonov.

“Oh, kami sudah mendengar semua itu sebelumnya,” sela wanita itu serasa tidak percaya dengan janji menarik dan mengganti pasukan.

Bagi Andreeva, serta para istri, ibu, dan saudara perempuan lainnya, ketimpangan beban perang merupakan keluhan yang penting. 

Meskipun restoran-restoran mewah di Moskow akan menyajikan anggur berkualitas dan truffle selama periode perayaan Tahun Baru, beberapa pria malah kedinginan di parit di depan pertahanan dalam berperang.

“Kami memiliki 1 persen populasi yang menanggung seluruh beban SVO di garis depan, sementara 99% lainnya sedang mempersiapkan Tahun Baru dan bersenang-senang,” kata Andreeva.

“Bersenang-senang bukanlah hal yang buruk bagi anak laki-laki atau keluarga kita,”  katanya.

Editor: Syamsul Azhar