JAKARTA. Para ahli perencana (planner) punya tanggung jawab besar menciptakan wajah sebuah kota atau kawasan pengembangan yang layak dihuni hingga beberapa generasi mendatang. Perencanaan kota harus mampu mengantisipasi jauh ke depan melebihi usia hidup sang ahli itu sendiri. Wakil Ketua DPP Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Soelaeman Soemawinata, dalam siaran pers diskusi publik bertajuk Inovasi dan Kreativitas dalam Perencanaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (5/4/2016), mengatakan bahwa hasil dari sebuah perencanaan kota baru akan terjadi 50 tahun hingga 100 tahun mendatang. "Artinya, baru bisa dirasakan baik atau buruknya nanti oleh anak cucu. Jadi, betapa berat bebannya kalau kita membuat sesuatu yang salah, karena itu akan menyebabkan kesusahan bagi generasi penerus," ujar Soelaeman.
Oleh karena itu, lanjut Soelaeman, seorang perencana harus punya mimpi dan visi ke depan melebihi zamannya. Dia memberi contoh kawasan Serpong di Tangerang. Ketika dibangun pada 1990-an, tidak pernah disangka, setelah 30-40 tahun kemudian Serpong menjelma menjadi salah satu kota penyangga terpenting dan paling sibuk di sekitar Jakarta. "Bahkan, pertumbuhan ekonomi di kawasan seluas sekitar 10 ribu hektare itu pernah mencapai kenaikan luar biasa hingga 60 persen per tahun pasca krisis moneter," ujar Soelaeman. Demikian juga kawasan Alam Sutera seluas 1.000 hektare, yang di awal pengembangan hanya disiapkan sebagai dormitory atau tempat tinggal bagi mereka yang bekerja di Jakarta. Semula di kawasan itu hanya akan dibangun hunian. Namun, setelah 15 tahun, dinamika perubahannya begitu pesat, karena Serpong sudah menjadi pusat komersial dan aktivitas bisnis yang maju. "Untuk itulah sisi nilai tambah perlu dipikirkan sejak awal satu pengembangan kawasan dilakukan," ujarnya. Sementara itu, Ketua Umum DPP IAP, Bernardus Djonoputro, juga mengatakan hal senada. Menurut dia, dimulainya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) membuat tanggung jawab moral ahli perencana semakin berat. IAP memiliki peran strategis untuk mempersiapkan profesional perencana di Indonesia menjadi bagian dari pasar bebas ASEAN. Berdasarkan Index Kenyamanan atau Indonesian Most Livable City Index yang dilansir IAP pada 2014 lalu terungkap bahwa hampir 50 persen warga kota di Indonesia menganggap kotanya tidak nyaman. Dengan lebih dari 25 kota bertumbuh menjadi kota dengan lebih dari satu juta penduduk. "Ini menjadi tantangan dan tanggung jawab bersama yang perlu diantisipasi," ujar Bernardus. Sayangnya, di tengah persaingan tersebut, lanjut Bernardus, sistem penataan ruang nasional justru masuk ke dalam masa paling kritis. Salah satunya dengan adanya Perpres No 3/2016 dan Surat Edaran Menteri Koordinator Perekonomian No 163/2015 yang meminta rencana tata ruang untuk menyesuaikan diri dengan arah, bentuk, dan pola kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan pemerintah.
"Percepatan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing harus didukung, tetapi bukan dengan prosedur potong kompas dan mengabaikan rencana tata ruang itu sendiri," ujarnya. Sejatinya, lanjut dia, rencana tata ruang adalah produk hasil proses bottom-up dan kesepakatan multi-stakeholder yang harus dipatuhi oleh semua pemangku kepentingan pembangunan, termasuk pemerintah. Untuk itu, jika pemerintah membutuhkan penyesuaian rencana tata ruang, aturan mainnya perlu disempurnakan dulu, yakni UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. "Bukan justeru mengeluarkan aturan yang mengesankan rencana tata ruang sebagai penghambat investasi," ujarnya. (Penulis: Latief) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan