JAKARTA. Mayoritas mata uang Asia mengalami penguatan terhadap dollar Amerika Serikat sepanjang Juli 2017. Penguatan paling tinggi diraih won Korea Selatan, yang menguat sebanyak 2,05%. Sejak awal Juli ini, hanya terdapat dua mata uang Asia yang melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Peso Filipina melemah sekitar 0,73% dan dollar Hong Kong yang turun 0,01%. Sedangkan mata uang lainnya menguat terhadap USD. Ambil contoh, won Korea menguat 2,05%, yen Jepang naik 0,44%, baht Thailand naik 0,99% dan rupiah menguat 0,20%. Sementara dong Taiwan naik tipis 0,03%.
Analis SoeGee Futures Nizar Hilmi mengatakan, ekonomi kawasan Asia sedang membaik lantaran terpengaruh pemulihan ekonomi global yang dibarengi peningkatan nilai investasi. Tak hanya itu, banyak negara yang ikut melakukan reformasi kebijakan. "Salah satunya adalah reformasi sektoral di Indonesia, yang menjalankan pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter," jelas Nizar saat dihubungi KONTAN, Rabu (19/7). Tak hanya itu, Nizar melihat reformasi kebijakan Indonesia menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang denganperforma terbaik di tahun 2016. Sebagai informasi, sepanjang 2016 lalu, kurs rupiah menguat 2,3% terhadap dollar AS. Ini merupakan kenaikan tahunan pertama dalam enam tahun terakhir. Secara umum, Nizar menyatakan saat ini mata uang Asia dalam posisi terbaik. Salah satunya disebabkan aliran dana yang masuk ke Asia. Arus modal asing yang masuk ke
emerging market mencapai US$ 17,8 miliar selama bulan Juni lalu. Dari jumlah itu, "Sekitar US$ 15,8 miliar masuk ke
emerging market Asia," kata Nizar, mengutip laporan Institute for International Finance. Menurut Nizar, won Korea Selatan bisa mencetak penguatan tertinggi terhadap USD lantaran pelaku pasar merespons positif terpilihnya Moon Jae-In sebagai presiden baru Korsel. Pasar menilai Moon Jae-In memiliki rencana kebijakan fiskal yang baik. Selain itu, kebijakannya memperbaiki kesenjangan nasional dianggap mendukung sinergi ekonomi. "Keunggulan Korea Selatan lainnya adalah mereka mendapat manfaat dari menyediakan teknologi global," kata Nizar. Tak hanya itu, performa indeks saham yang bagus ikut berimbas baik pada nilai mata uang. Indeks saham Korea Selatan KOSPI tahun ini juga terus mencetak rekor dan turut mengangkat mata uang Negeri Ginseng. Secara
year to date, performa indeks saham negara-negara Asia juga berada di zona hijau. Hang Seng naik 21,23%, BSE Sensex 19,95% dan KOSPI 19,91%. Sedangkan IHSG berada di posisi keempat dengan pertumbuhan 9,63%. Kenaikan kurs mata uang Asia juga dipengaruhi oleh kejatuhan dollar AS akibat ketidakpastian arah kebijakan fiskal dan moneter Presiden Donal Trump. "Pemerintahan Trump tidak mampu menunjukkan arah kebijakan yang baik. RUU kesehatan saja tersandung, bagaimana dengan pajaknya?" kata Nizar. Baru-baru ini, kebijakan kesehatan yang diajukan Trump juga mendapat penolakan dari parlemen. Hal ini semakin memukul performa mata uang Negeri Paman Sam. "Pasar menjadi ragu apakah ada kenaikan suku bunga The Fed yang ketiga kali tahun ini," kata Nizar.
Research & Analyst Asia Tradepoint Futures Andri Hardianto menambahkan, dollar masih diselimuti sentimen negatif karena gejolak politik AS. Pelaku pasar juga pesimistis terhadap kebijakan Donald Trump. Di sisi lain,
emerging market mencatat pertumbuhan ekonomi yang menarik ditopang oleh harga komoditas yang stabil. "Terutama Malaysia, Indonesia, dan Thailand dengan komoditas karet, CPO dan batubara," kata Andri. Ia optimistis, mata uang Asia akan melanjutkan penguatannya hingga akhir tahun. Pendapat Nizar juga setali tiga uang. Ia memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa bergerak ke level Rp 13.000 per dollar AS tahun ini. Sementara won Korea berpeluang menguat hingga mencapai 1.150 won per dollar AS. Baht Thailand juga berpeluang menguat hingga 34,50 baht per dollar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini