Performa reksadana berbasis dollar melempem



JAKARTA. Performa reksadana berbasis dollar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini melempem. Pangkal soalnya adalah penguatan mata uang Paman Sam yang menggerus mayoritas imbal hasil (return) reksadana dollar.

Infovesta Utama mencatat, secara year to date (ytd) per 5 Juni 2015, hanya reksadana dollar jenis pendapatan tetap dan pasar uang yang masih meraih imbal hasil positif. Itu pun, dengan rata-rata return mini, yaitu 1,15% dan 0,66%. Sedangkan reksadana dollar jenis saham dan campuran memble. Rata-rata return kedua jenis reksadana itu minus 9,99% dan minus 5,24%.

Analis Infovesta Utama Viliawati menjelaskan, return reksadana dollar jenis saham dan campuran rontok karena nilai pasar portofolionya mengecil saat dikonversi dalam dollar AS pada perhitungan Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaan (NAB/UP). Maklum, mayoritas aset dasar portofolio terdiri dari saham dan obligasi domestik berdenominasi rupiah. "Nilai pasar portofolio dalam rupiah menyusut ketika dikonversi ke dalam dollar AS yang menguat," katanya, Senin (8/6).


Belum lagi, fluktuasi pasar saham yang menjadi aset dasar turut menggerus kinerja reksadana. Asal tahu saja, sejak awal tahun 2015 hingga akhir Mei lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah terpangkas 2,42%. Berbeda dengan imbal hasil reksadana pendapatan tetap dan pasar uang yang masih positif.

Viliawati bilang, kedua jenis reksadana ini tidak merugi saat dollar AS menguat. Maklum, aset dasarnya obligasi berbasis dollar alias global bond, serta deposito dollar. Jadi, tidak ada rugi kurs. Tak heran, reksadana pendapatan tetap menduduki tiga teratas reksadana dollar dengan kinerja terbaik. "Tapi return tetap kurang maksimal karena bunga deposito kecil, dan pergerakan harga global bond tidak besar lantaran kurang likuid," imbuhnya.

Produk kelolaan PT Ashmore Asset Management Indonesia, yaitu Ashmore Dana USD Nusantara, menempati urutan ketiga terbaik dengan return 1,92%. Direktur Ashmore Arief Wana menyatakan, produk ini memiliki kebijakan investasi menempatkan 80%-100% aset pada efek utang pemerintah Indonesia. Lalu, maksimal 20% di instrumen pasar uang.

Saat ini, mayoritas aset dasarnya adalah obligasi global pemerintah seri INDON. Demi mendongkrak kinerja, kata Arief, Ashmore akan mengubah strategi reksadana tersebut dengan memperpanjang durasi obligasi. "Sebab, harga obligasi dollar AS tengah menarik," tuturnya.

Sedangkan Head of Operation & Business Development PT Panin Asset Management Rudiyanto mengaku, mempertimbangkan kebijakan suku bunga bank sentral AS (The Fed) dalam memilih aset dasar obligasi. "Kami mengkombinasikan antara obligasi jangka pendek dan panjang," ujarnya. Pertimbangannya, harga obligasi global terancam turun kalau The Fed mengerek suku bunga. "Obligasi dollar AS lebih sensitif terhadap suku bunga AS dibandingkan inflasi dalam negeri," imbuhnya.

Reksadana dollar kelolaan Panin, yaitu Panin Dana US Dollar, berkinerja minus 4,33% ytd per 5 Juni lalu. Reksadana campuran ini memutar 5% hingga 35% aset di efek saham, lalu efek utang 65% hingga 75%, sisanya di pasar uang.

Untung selisih kurs

Viliawati menduga, kinerja reksadana dollar AS hingga akhir tahun nanti masih tertekan. Sebab, kinerja aset dasarnya, baik saham maupun obligasi, masih akan dibayangi sentimen negatif jangka pendek. Selain itu, pelemahan rupiah yang terus berlanjut bisa menjegal kinerja reksadana.

Maka, investor bisa memilih reksadana dollar pendapatan tetap yang mayoritas portofolionya diputar di obligasi dollar. "Produk dengan racikan seperti ini berpotensi memberikan keuntungan dari konversi nilai tukar, apabila investor redemption di akhir tahun dan dollar AS masih menguat," imbuh Viliawati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa