KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi ekonomi global diperkirakan lebih baik untuk menyerap
Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah. Di samping itu, kebijakan domestik turut berperan penting terhadap prospek harga CPO. Research & Development ICDX Girta Yoga mengatakan bahwa berbagai sentimen terhadap harga CPO akan menjadi fokus di tahun 2023. Mengutip dari Dewan Minyak Sawit Malaysia, Girta menjelaskan bahwa produksi minyak sawit Malaysia di tahun 2023 diproyeksikan akan meningkat sebesar 3% - 5% atau sekitar 500.000 - 900.000 ton, dibanding produksi tahun 2022.
Sementara untuk produksi minyak sawit Indonesia di tahun 2023 diproyeksikan akan meningkat sebesar 3% menjadi 48,1 juta ton, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Baca Juga: Permintaan Lesu, Intip Prospek Harga CPO di Sepanjang Tahun 2023 "Kenaikan produksi biasanya berdampak negatif terhadap pergerakan harga, apabila tidak disertai dengan peningkatan permintaan," imbuh Girta kepada Kontan.co.id, Rabu (4/1). Dalam kasus CPO, lanjut Girta, peningkatan produksi khususnya di Indonesia masih bisa disertai dengan peningkatan konsumsi dalam negeri. Indonesia membutuhkan CPO untuk permintaan biodiesel, sehingga tidak sampai menyebabkan kondisi
over-supply di pasar global. Terkait rencana mandatori biodiesel Indonesia dari B30 menjadi B35 yang akan dimulai pada Februari 2023 nanti, diperkirakan akan meningkatkan tambahan konsumsi domestik CPO dalam bentuk permintaan biodiesel hingga sekitar 1,8 juta -2 juta ton. Menurut Girta, peningkatan produksi di Indonesia dan Malaysia tersebut sebenarnya juga didukung oleh membaiknya gangguan cuaca La Nina yang memicu tingginya curah hujan, diperkirakan akan mereda di kuartal I-2023.
Baca Juga: Penyaluran Kredit Perbankan ke Industri CPO Tembus Rp 374 Triliun di Kuartal III 2022 Hanya saja, cukup disayangkan bahwa masih ada sejumlah kendala yang berpotensi menghambat pasokan ke pasar global antara lain rencana Indonesia untuk menjalankan program biodiesel B35, penerapan UU anti deforestasi untuk produk turunan sawit serta adanya perkembangan di pasar minyak sawit. Selain itu, kebijakan di negara importir utama CPO seperti India juga turut diwaspadai. India yang memperpanjang kebijakan pajak impor yang lebih rendah untuk minyak sawit, minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari hingga Maret 2022 akan berpengaruh pada harga CPO yang lebih rendah. Sementara sentimen positif bisa datang dari Pemerintah China yang saat ini telah berkomitmen untuk mencabut kebijakan ketat terkait Covid-19. Langkah kebijakan tersebut dinilai akan berdampak pada pembukaan jalur logistik kegiatan ekspor dan impor China yang selama ini dihentikan. "Permintaan juga berpotensi meningkat dalam waktu dekat dengan adanya perayaan Tahun Baru China," terang Girta. Konflik geopolitik Ukraina yang diperkirakan masih akan berlanjut di 2023 turut berdampak positif terhadap harga CPO. Perang tersebut berpotensi membuat harga minyak nabati menguat dengan adanya gangguan pada jalur distribusi utama Laut Hitam. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga minyak nabati akan mendongkrak kenaikan harga CPO.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Pilihan Emiten Barang Konsumen Primer di Tahun 2023 Kenaikan suku bunga yang berpotensi mendorong terjadinya resesi diakui menjadi salah satu sentimen negatif bagi permintaan CPO.
Namun, Girta menilai hal tersebut masih dapat disiasati dengan pemberian insentif misalnya diskon atau harga murah dari negara penjual ataupun pengurangan bea impor di negara importir utama. Sehingga permintaan tidak terlalu tergerus oleh resesi. Girta memperkirakan harga CPO akan bergerak pada level
resistance di kisaran harga MYR 5.000-5.250/ton di pertengahan tahun 2023. Namun apabila terdapat katalis negatif, maka harga berpotensi turun menuju level
support di kisaran harga MYR 3.000-2.750/ton. Mengutip Tradingeconomics pada Rabu (4/1) pukul 19.15 WIB, harga CPO berada di level MYR 4.169 per ton. Angka ini sudah melemah 1,89% secara harian. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli