Pergerakan Harga Komoditas Energi Bervariasi, Ini Sebabnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga komoditas energi bervariasi. Namun diperkirakan pada akhir tahun harganya cenderung stabil.

Berdasarkan Trading Economics, harga minyak WTI ditutup di level di US$ 77,42 per barel dan minyak Brent di US$ 81,43 per barel pada Senin (26/8). Secara harian, harga minyak itu naik 2,80% dan 2,40%. Namun, jika dilihat sejak awal tahun, harganya masih cenderung stabil.

Gas alam berada di US$ 1,97 per MMBtu, menjadi komoditas energi dengan penurunan harga terbesar sejak awal tahun. Sementara batubara mencatatkan kinerja yang cukup positif sejak awal tahun dan berada di US$ 145,2 per ton.


Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, walau ketiganya merupakan komoditas energi, tetapi situasi fundamental masing-masing cukup berbeda. Meski begitu, prospek pemangkasan suku bunga oleh the Fed masih tetap mendukung secara umum.

Minyak mentah untuk jangka pendek ini juga didukung oleh kekhawatiran eskalasi dan potensi perang besar di Timur Tengah. Namun hal ini masih sebatas antisipasi akan disrupsi pada transport dan logistik.

Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Melonjak 3%, Pemangkasan Produksi di Libya Tambah Kekhawatiran

"Dari sisi supplai seharusnya tidak akan banyak terganggu, secara OPEC+ kemungkinan berencana untuk 'unwind production cut' mereka dan potensi terjadinya surplus supplai tahun depan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (26/8).

Untuk gas alam, tertekannya harga komoditas tersebut karena pasarnya masih dalam kondisi oversupply. "Gas di fasilitas penyimpanan di Eropa yang masih tinggi di atas 90%, walau mungkin antisipasi cuaca yang lebih dingin akhir tahun bisa sedikit mendukung harga," kata Lukman.

Adapun batubara tertekan oleh konsumsi di China yang terus turun oleh perubahan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, serta ekonomi yang melambat. Namun kekhawatiran gangguan besar pada pasokan dari Asutralia oleh antisipasi La Lina masih mendukung harga.

Menurut Lukman, sentimen lain kemungkinan akan mendorong harga energi itu akan berasal dari China. Menurutnya, dengan the Fed yang akan mulai memangkas suku bunga, pemerintah China pun diperkirakan bisa lebih leluasa dalam menambahkan stimulus di pasar tanpa kekhawatiran Yuan akan melemah besar.

"Stimulus ini juga bisa mencegah penguatan Yuan yang besar dan cepat ketika the Fed mulai memangkas suku bunga. Ini bisa mendukung harga semua komoditas pada umumnya," terangnya.

Meski didukung oleh prospek suku bunga the Fed, Lukman berpandangan minyak WTI akan sulit kembali di atas US$ 80 per barel. Potensi kembali ke level itu dapat terjadi jika ada disrupsi transportasi di Timur Tengah dan OPEC+ paling tidak membatalkan rencana mengurangi pemangkasan produksi.

Menurutnya, apabila hal itu terjadi maka harganya bisa naik ke US$90 per barel. Namun untuk sementara, ia melihat bahwa idealnya harga WTI akan berkisar US$ 60 - US $70 per barel.

Untuk gas alam diperkirakan masih mampu naik ke US$ 2,3 - US$ 2,5 per MMBtu di akhir tahun, dengan antisipasi cuaca yang lbh dingin.

"Batubara, apabila terjadi banjir besar di Australia, harganya bisa meroket ke US$ 180 - US$ 200 per ton, apabila tidak di US$ 130 - US$ 140, maksimal US$ 150," tutup Lukman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari