KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perundingan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, keluarnya Qatar dari Organizations of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada awal 2019, serta sanksi yang dijatuhkan AS kepada Venezuela, memberi sentimen signifikan pada pergerakan harga minyak dunia di awal tahun 2019. Pada Selasa (5/2) pukul 14.22 WIB, minyak jenis
west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2019 di New York Mercantile Exchange ada di level US$ 54,71 per barel, angka tersebut naik sebesar 0,27% dibanding sehari sebelumnya di angka US$ 54,56 per barel. Sedangkan harga minyak brent untuk pengiriman April 2019 ada di level US$ 62,64 per barel, naik 0,2% dibanding sehari sebelumnya yang ada di level US$ 62,51 per barel. Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar, menjelaskan bahwa keluarnya Qatar dari liga OPEC sempat menjadi hal yang tak diperkirakan oleh pelaku pasar.
“Namun saya pikir selain hal tersebut, pergerakan harga minyak secara umum, masih dibayangi oleh perundingan dagang oleh AS dan China yang tampaknya akan menemukan titik temu cukup baik, lalu sanksi AS terhadap Venezuela, dan pemangkasan produksi minyak yang dilakukan oleh Rusia dan OPEC,” jelas Deddy. Sebagai informasi, sejak Desember 2018, negara-negara anggota OPEC dilaporkan setuju memangkas produksi minyak hingga enam bulan ke depan demi memulihkan harga emas hitam yang saat itu jatuh sebesar 30% sejak November 2018. Tak hanya OPEC, negara mitra dagang OPEC, Rusia, juga sepakat mengurangi produksi minyaknya. Memasuki Januari 2019, produksi minyak OPEC turun sebanyak 460.000 barel per hari, menjadi 32,68 juta barel per hari. “Hal ini direspon positif oleh pasar, sehingga harga minyak terkerek,” tambah Deddy. Namun begitu, dalam kesepakatan yang ada, Rusia ternyata tidak mengurangi pasokan minyak sejumlah angka yang dijanjikan. Deddy menjelaskan Rusia hanya memangkas produksinya sebesar 35.000 barel per hari dari kuota pemangkasan 230.000 barel per hari. “Menurut saya, kondisi ini juga akan terus membayangi pergerakan harga minyak ke depannya,” tutur Deddy. Deddy juga memprediksi bila harga minyak berpotensi kembali melemah jika hasil perundingan dagang AS dengan China tidak mencapai hasil yang diharapkan oleh pelaku pasar. “Di sisi lain, bila produksi minyak AS mengalami kenaikan, bukan tidak mungkin harga minyak kembali terkoreksi,” ujarnya Menurut data yang dirilis oleh US Energy Information Administration (EIA), produksi minyak AS terus meningkat. Pada awal 2019, AS bahkan mencatat rekor baru dengan produksi sebesar 11,9 juta barel per hari. EIA juga memprediks, produksi minyak AS akan terus tumbuh tahun ini dan menembus rekor 12 juta barel per hari. Deddy menyimpulkan, bila perundingan dagang antara AS dengan China bisa berakhir damai, maka akan kembali membuat permintaan terhadap emas hitam melonjak. Sebab, permintaan pasokan minyak tertinggi berasal dari China. “Pada Desember 2018, China bahkan membutuhkan lebih dari 10 juta barel minyak per hari,” jelas Deddy.
Deddy mengingatkan untuk memantau pidato kenegaraan Presiden AS, Donald Trump, yang akan berlangsung besok. Dari sana, diharapkan Trump akan menyinggung permasalahan seputar perang dagang. “kedua negara terancam mengalami kontraksi ekonomi, terutama China,yang memang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kita berharap dapat mendapat insight, sampai kapan perang terus berlanjut?” katanya. Secara teknikal, Deddy melihat harga minyak masih memiliki indikasi kembali atau menguat namun tidak berada di area yang lebar. Saat ini, harga minyak berada di atas
Moving Average (MA) 50, di bawah 100 dan 200. Sementara
stochastic berada di area 82, yang menjadi indikasi harga mengalami koreksi. RSI berada di posisi 61dan MACD berada di area positif. Deddy memprediksi harga minyak bergerak di area US$ 53,30 per barel – US$ 57,20 per barel dalam jangka menengah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi