KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri bioskop Indonesia masih berupaya pulih setelah dihantam oleh pandemi Covid-19. Kinerja industri bioskop pun cukup dipengaruhi oleh selera masyarakat dalam menonton film-film yang sedang tayang di layar lebar. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafrudin mengatakan, tahun 2023 masih menjadi tahun pemulihan bagi industri bioskop yang tertatih-tatih selama dua tahun masa pandemi. Sebenarnya, industri bioskop mulai menunjukkan sinyal kebangkitan saat momen libur Idulfitri 2022 lalu. Hal itu bertepatan dengan tayangnya film KKN di Desa Penari dan pelonggaran kebijakan PPKM.
“Tapi pemulihan tersebut masih bersifat temporer,” ujar Djonny, Jumat (20/1).
Baca Juga: Lanjutkan Ekspansi Bisnis Bioskop, Cinepolis Akan Buka di Senayan Park Tahun Ini Industri bioskop sendiri tidak bisa dipisahkan dengan industri perfilman, karena film yang membuat penonton mau berbondong-bondong datang ke bioskop. Benar saja, sejak akhir tahun 2022 hingga saat ini, tren kunjungan bioskop cenderung stagnan dan bahkan menurun sekitar 30%-40%. Penurunan tersebut dinilai akibat film-film yang sedang tayang di bioskop kurang sesuai dengan selera mayoritas masyarakat Indonesia masa kini. Namun, penurunan tersebut bersifat relatif dan tidak bisa digeneralisir, karena pada dasarnya masih ada beberapa film yang tetap ramai ditonton. Ambil contoh Avatar The Way of Water. “Ini merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak zaman dahulu. Kalau ada film dari genre tertentu laris, maka semua produser ikut buat film dengan genre serupa. Lama-lama penonton akan jenuh,” ungkap dia. GPBSI juga menilai, maraknya platform layanan
over the top (OTT)
streaming film seperti Netflix, Dinsey+ Hotstar, Vidio, HBO Go, dan lain sebagainya tidak berdampak besar bagi industri bioskop Tanah Air. Layanan
streaming memang mengalami peningkatan permintaan selama pandemi lantaran masyarakat tidak bisa leluasa beraktivitas di luar ruangan. Namun, pada akhirnya pengalaman menonton film di bioskop tidak bisa digantikan oleh platform tersebut. Di luar itu, GPBSI yakin ruang pertumbuhan kinerja pendapatan bioskop masih akan terbuka lebar sepanjang tahun ini. Banyak rumah produksi film yang akan menayangkan hasil karyanya di bioskop. Belum lagi, film-film luar negeri juga banyak peminatnya di Indonesia. Alhasil, persaingan perebutan layar untuk menayangkan film mustahil dihindari. “Biasanya film-film baru sering muncul pada momen-momen tertentu seperti tahun baru dan lebaran,” imbuh Djonny. Di sisi lain, Djonny memperkirakan para pelaku industri bioskop cenderung masih akan berhati-hati untuk melakukan ekspansi berupa penambahan jaringan bioskop. Selain faktor selera masyarakat dalam mengkonsumsi film, perkembangan kondisi ekonomi juga bakal mempengaruhi ekspansi bisnis bioskop.
Baca Juga: Cinema XXI Berencana Menambah Jaringan Bioskop di Daerah Potensial Bukan perkara mudah untuk mendirikan bioskop baru karena biaya investasinya relatif mahal. Djonny memberi contoh, pembangunan satu layar studio dapat menelan investasi sekitar Rp 3 miliar. Kalau satu bioskop terdiri dari empat layar, maka pihak pengembang bioskop harus merogoh kocek hingga Rp 12 miliar. Angka tersebut hanyalah gambaran investasi untuk bioskop independen. Sedangkan, investasi untuk satu layar studio bioskop besar seperti XXI bakal lebih jumbo lagi, yakni sekitar Rp 5 miliar-Rp 6 miliar. Kalau penonton yang datang ke bioskop sedikit, tentu butuh akan sulit bagi pemilik bioskop untuk sekadar balik modal. “Perusahaan bioskop yang mau bangun bioskop baru harus lihat dahulu kondisi pasar dan perilaku konsumennya,” tandas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi