Perilaku risk taking asuransi Jiwasraya



Di pengujung tahun 2018 yang baru saja berakhir, PT Asuransi Jiwasraya kembali membuat berita. Setelah sempat bermasalah beberapa tahun silam akibat terlilit utang sebesar Rp 6,7 triliun, kali ini perusahaan asuransi pelat merah tersebut tidak mampu memenuhi janjinya untuk membayar nilai tunai polis asuransi yang jatuh tempo pada Oktober 2018. Jumlahnya pun cukup besar, mencapai Rp 802 miliar.

Janji membayar dengan tingkat bunga tertentu (tinggi) pun akhirnya kandas, setelah nilai investasi perusahaan yang menjadi underlying produk Asuransi Jiwasraya di pasar modal diperkirakan amblas, seiring penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sementara tawaran memperpanjang (roll over) polis ditolak para pemegang polis.

Di lain pihak, upaya untuk memenuhi kewajiban melalui perolehan premi baru sulit diandalkan akibat redupnya pamor produk asuransi perusahaan. Alhasil, pendapatan dari investasi dan perolehan premi tidak bisa menutupi kebutuhan likuiditas. Sementara itu, pemenuhan likuiditas melalui penjualan investasi perusahaan yang dominan berupa reksadana saham dan saham dalam kondisi rugi (cut loss)tampaknya tidak akan direalisasikan. Pasalnya, ada kekhawatiran timbul kerugian negara jika itu dilaksanakan.


Bila didalami, permasalahan yang mendera perusahaan sejatinya didasari perilaku ambil risiko (risk taking behavior) yang berlebihan. Perilaku risk taking itu begitu kentara dan profil risiko perusahaan pun terlihat risk taker. Lihat saja, komposisi penempatan investasi perusahaan yang tercantum dalam Laporan Keuangan Audited 2017 yang diakses di laman Asuransi Jiwasraya. Investasi yang berisiko tinggi seperti pada reksadana saham dan saham cukup dominan, masing-masing 45,32% (Rp 19,7 triliun) dan 15,68% (Rp 6,63 triliun) dari total penempatan investasi perusahaan yang mencapai Rp 42,31 triliun.

Begitu pula investasi perusahaan pada aset tidak likuid berupa tanah dan bangunan dengan persentase yang cukup besar, mencapai 15,50% (Rp 6,55 triliun). Selain butuh waktu untuk menjual aset properti, nilai pasar properti pun saat ini masih melempem. Bahkan, investasi aset di properti kurang sesuai dengan bisnis model asuransi. Adapun porsi aset likuid dan berisiko rendah yakni deposito dan obligasi pemerintah terbilang minim, masing-masing hanya sebesar 10,25% (Rp 4,33 triliun) dan 7,31% (Rp3,09 triliun).

Komposisi aset investasi seperti itu tidak lepas dari produk asuransi berbalut investasi (saving plan) yang return investasi dijamin perusahaan. Produk yang dijual melalui kanal perbankan (bancassurance) dan menjadi andalan perusahaan itu bukan unitlink, lebih mirip deposito. Produk yang memberikan jaminan return (financial guarantees) tergolong kegiatan nontradisional perusahaan asuransi dan rentan dengan perubahan variabel ekonomi makro (Eling dan Pankoke, 2014). Imbasnya, perusahaan berpotensi mengalami kerugian yang besar bila terjadi shock di pasar keuangan. Dan, kondisi inilah yang terjadi pada Asuransi Jiwasraya.

Motif perusahaan

Tentu, ada motif di balik perilaku perusahaan mengambil risiko tinggi. Setelah perusahaan hampir di titik nadir, upaya untuk membangun kembali perusahaan dilakukan. Untuk itu, perusahaan mengandalkan produk proteksi berbalut investasi dengan fitur berupa jaminan kepastian return tertentu yang cukup tinggi. Misalnya, garansi return-nya sebesar 7% untuk produk JS Plan Optima 7 dan 9% untuk JS Plan Optima 9 (Laporan Tahunan 2016). Tentu, produk ini sangat menarik.

Produk yang baru diluncurkan pada 2013 tersebut lambat laun diterima pasar, dan dalam perkembangannya pertumbuhan premi dari produk itu melesat. Aset perusahaan pun terdongkrak. Sebagai gambaran, perolehan total premi pada 2013 baru mencapai Rp 5,78 triliun, namun pada 2017 total perolehan premi melonjak menjadi Rp 21,80 triliun atau meningkat 277,16%. Seiring dengan itu, aset perusahaan meningkat pula, dari Rp 17,04 triliun pada 2013 menjadi Rp 45,69 triliun pada 2017 alias meningkat 168,13%.

Untuk memenuhi janji kepada para pemegang polis, maka konsekuensinya adalah dana premi harus diinvestasikan pada aset yang memberikan return tinggi. Investasi pada reksadana saham dan saham bisa memenuhi janji tersebut. Kendati begitu, ada jargon yang berlaku umum, bahwa di balik tingginya return, tentu terselip potensi risiko yang tinggi pula (high risk high return).

Perilaku risk taking ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi suku bunga yang rendah. Fenomena ini sebenarnya juga terjadi pada krisis keuangan global 2008/2009, di mana rendahnya suku bunga yang berlangsung lama telah mendorong peningkatan perilaku risk taking pelaku ekonomi (Warjiyo, 2016). Hal ini terlihat dari maraknya kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) yang kemudian disekuritisasi dan diperdagangkan di pasar keuangan global. Perilaku risk taking yang berlebihan itu berperan dalam menyulut risiko sistemik yang berujung krisis.

Suku bunga yang rendah, terlebih yang berlangsung lama, merupakan musuh perusahaan asuransi, terutama asuransi jiwa. Pasalnya, kondisi itu akan menekan profitabilitas dan solvabilitas perusahaan asuransi. Suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI) sendiri sebagai patokan suku bunga dalam posisi relatif rendah sudah cukup lama. Bahkan, mencapai titik terendah yakni 4,25% dan telah berlangsung selama 8 bulan sejak September 2017 hingga April 2018. BI sendiri menaikkan suku bunga kebijakannya mulai Mei 2018.

Berangkat dari itu, maka sebagian besar aset perusahaan tidak mungkin ditempatkan di perbankan dalam bentuk deposito maupun di pasar uang yang menghasilkan return rendah. Bagaimanapun, perusahaan harus me-matching-kan pendapatan di sisi asset dengan biaya di sisi kewajiban. Itu dicapai melalui investasi yang memberikan return tinggi (search for high yield) yang bisa memenuhi janji perusahaan kepada pemegang polis.

Di samping suku bunga yang rendah, perilaku risk taking yang cenderung berlebihan juga dipengaruhi oleh status perusahaan sebagai BUMN. Status ini bisa memicu timbulnya moral hazard. Sama halnya bila suatu perusahaan memiliki skala yang besar (too big too fail).

Sebagai sebuah BUMN, apalagi yang sudah berusia satu abad lebih atau tepatnya 159 tahun, tentu pemerintah tidak akan membiarkan perusahaannya mengalami default. Paling tidak, ada upaya penyelamatan sebelum perusahaan benar-benar dilikuidasi. Itu pun sebagai langkah pamungkas.•

Ardhienus Analis Senior Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi