KONTAN.CO.ID - Persaingan ketat dalam pengembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) antara Amerika Serikat (AS) dan China terus menjadi perhatian pelaku pasar global. CEO Nvidia, Jensen Huang, memberikan peringatan strategis mengenai potensi risiko yang dapat membuat AS tertinggal dari China dalam perlombaan teknologi ini. Dalam sesi diskusi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Huang menyoroti perbedaan fundamental antara kedua negara dalam mengadopsi AI.
Sentimen Publik dan Penerimaan Teknologi
Huang menjelaskan adanya perbedaan kontras pada persepsi masyarakat di kedua negara terhadap kehadiran AI. Melansir laporan Times of India, Huang menyebutkan bahwa sentimen publik di China jauh lebih optimistis dibandingkan di Amerika Serikat. Berdasarkan pengamatannya, jika dilakukan jajak pendapat mengenai apakah AI akan memberikan lebih banyak manfaat daripada dampak buruk, sekitar 80% masyarakat China diyakini akan menjawab secara positif. Sebaliknya, Huang menilai sentimen di Amerika Serikat justru menunjukkan kecenderungan yang berlawanan. Kesenjangan persepsi ini dianggap krusial karena memengaruhi kecepatan adopsi teknologi di sektor industri. Huang menekankan bahwa pihak yang paling awal dan paling luas menerapkan teknologi tersebut akan menjadi pemenang dalam revolusi industri modern ini.Analisis "Five-Layer Cake" Persaingan AI
Guna membedah kompetisi teknologi ini, Jensen Huang membagi kerangka persaingan menjadi lima lapisan utama atau yang ia sebut sebagai "five-layer cake". Kelima aspek tersebut mencakup:- Sentimen Publik: Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap manfaat AI.
- Energi: Ketersediaan daya untuk mengoperasikan pusat data.
- Chip: Keunggulan perangkat keras pengolah data.
- Infrastruktur: Kecepatan pembangunan fasilitas fisik pendukung.
- Model AI: Kualitas algoritma dan ketersediaan sumber terbuka (open source).
Ketimpangan Infrastruktur dan Model Open Source
Sektor infrastruktur juga menjadi titik lemah yang disoroti oleh bos produsen chip terbesar di dunia tersebut. Huang menggarisbawahi efisiensi pembangunan di Negeri Tirai Bambu yang jauh melampaui Negeri Paman Sam. Dikutip dari sumber yang sama, Huang memberikan perbandingan bahwa pembangunan pusat data di AS, mulai dari peletakan batu pertama hingga beroperasinya superkomputer AI, rata-rata membutuhkan waktu sekitar tiga tahun. Sementara itu, ia menilai China memiliki kemampuan pembangunan infrastruktur fisik yang jauh lebih cepat dan masif. Meskipun secara teknologi chip dan model AI AS saat ini masih memimpin, terdapat beberapa catatan penting:- Teknologi Chip: AS masih unggul beberapa generasi di depan China.
- Model AI: AS memimpin sekitar enam bulan dalam pengembangan model kelas dunia.
- Ekosistem Open Source: China dinilai unggul jauh dalam pengembangan model sumber terbuka (open source).