KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir-akhir ini banyak pertanyaan muncul mengenai pesan dari investor legendaris dunia. Katanya, Warren Buffett memperingatkan bahwa akan terjadi
crash lagi? Benarkah
The Oracle of Omaha mengatakan hal tersebut? Krisis ekonomi di 2020, yang disebabkan oleh pandemi, sempat memberi pukulan besar bagi perekonomian banyak negara pada semester I-2020. Dua negara ekonomi terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China, juga terdampak. Ekonomi China melambat di kuartal I lalu, turun 6,8% setelah tumbuh 6% di periode yang sama di 2019. Ekonomi Amerika turun hingga 9% dan mengalami resesi setelah ekonomi merosot dalam dua kuartal berturut-turut.
Perlambatan ekonomi dunia akhirnya sampai ke Indonesia. Ekonomi Indonesia turun hingga 5,32% dan mengalami resesi pertama setelah krisis 1998. Meski seluruh dunia masih berjuang memulihkan ekonomi, pasar saham sudah mendahului mengalami V
shape recovery sejak Maret 2020, didorong oleh kebijakan moneter dan fiskal. Di antaranya ada
quantitative easing yang dilakukan AS, stimulus tambahan serta suku bunga rendah mendekati 0%. Pemerintah Indonesia juga membesut program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan mengucurkan dana lewat program tersebut. Saat ini perekonomian dunia sudah mulai merangkak naik di kuartal III dan IV-2020, menyusul kenaikan harga saham. Ini ditunjukkan oleh PMI AS yang mencapai level 56,5. Artinya, perusahaan AS kembali ekspansif. Produk domestik bruto (PDB) AS juga naik 33,1% YoY. China juga mencatat prestasi serupa. Angka PMI negara tersebut menunjukkan perusahaan manufaktur di China sudah ekspansif. PDB China juga sudah naik 4,9% YoY. Bahkan, harga saham masih terus melaju di kuartal terakhir 2020, dengan total penguatan mencapai sekitar 20% sejak Oktober 2020. Ini terjadi karena pasar saham bersifat
forward looking alias prediktif, sehingga bergerak mendahului kondisi riil.
Market outlook untuk pasar saham sendiri di 2021 saat ini masih positif, didorong oleh sejumlah sentimen global. Dari Amerika, ada kebijakan stimulus, rencana kenaikan pajak perusahaan dan perorangan, serta rencana pelaksanaan
green energy oleh Joe Biden. Indonesia juga kebanjiran sentimen positif dari pelaksanaan
Omnibus Law dan pembentukan
Sovereign Wealth Fund, yang akan berdampak positif bagi sektor konstruksi, infrastruktur dan semen, yang menjadi
game changer di Indonesia. Indonesia juga berpotensi diuntungkan kebijakan Presiden AS Joe Biden menaikkan pajak korporasi. Alhasil, aliran dana diproyeksi mengalir ke
emerging market. Sebagai eksportir komoditas seperti batubara, nikel, CPO, minyak dan tembaga, Indonesia juga diuntungkan. Penyebabnya, tahun depan permintaan akan pulih. Jadi ada banyak katalis positif yang mampu mendorong kinerja saham di 2021. Kami melihat recovery ekonomi akan terjadi. Kami optimistis saham-saham komoditas, seperti batu bara, minyak dan gas, emas, metal dan CPO akan memiliki kinerja baik di 2021. Saham bank, properti, konstruksi beserta bahan pendukungnya (semen dan beton), dan ritel juga menarik dicermati. Naiknya harga saham secara signifikan hingga Desember 2020 ini, membuat valuasi saham sudah mulai meningkat. Belum bisa dibilang mahal, namun sudah masuk kategori
fair value. Misalnya saja saham BBRI, APLN, SMGR, ADHI dan KAEF Pernyataan Warren Buffett Seperti dikutip
Motley Fool, Warren Buffet mengatakan 2021 masih penuh ketidakpastian, karena pandemi masih berlangsung. Tapi, Warren Buffett bukan mengatakan akan terjadi krisis. Warren Buffett memperingatkan akan adanya faktor
indecision, karena pandemi masih belum benar-benar berakhir. Warren Buffett adalah investor saham yang memiliki
time horizon sangat Panjang. “
Our favourite holding period is forever,” demikian kata Buffett. Sehingga wajar jika Buffett tidak ikut dalam euforia dalam pasar saat ini. Pandangannya adalah ekonomi di 2021 masih akan dalam fase
indecision.
Indecision tersebut perlu diantisipasi sejak awal. Seperti kata Buffett tentang pandemi, “
If you owned the businesses you liked prior to the virus arriving, it changed prices, but nobody’s forcing you to sell”. Buffett memberikan peringatan. Menurut dia, ketidakpastian akibat pandemi masih akan berlangsung hingga tahun depan. Lockdown bisa saja terjadi dan dapat mengakselerasi tekanan jual. Jadi, meskipun banyak sentimen positif, 2021 bukanlah tahun tanpa
downside (sentimen negatif). Kita juga perlu mengantisipasi, faktor risiko apa sajakah yang berpotensi menjadi
downside di 2021. Ada beberapa potensi risiko yang perlu diantisipasi untuk 2021.
Pertama, vaksin Sinovac yang diimpor ke Indonesia memiliki efikasi rendah dibandingkan vaksin lain. Jika nanti pemberian vaksin tidak efektif, justru malah akan memberikan dampak negatif buat pasar saham. Maklum, distribusi vaksin dan efektivitas akan mendorong perekonomian menuju normal. Aktivitas ekonomi akan kembali berjalan. Daya beli dan konsumsi masyarakat meningkat, sehingga menimbulkan permintaan terhadap produk barang atau jasa. Tentunya hal ini membuat bisnis kembali bergairah dan kegiatan produksi akan kembali berjalan kembali.
Kedua, mutasi virus Covid-19. Saat ini mutase masih menjadi tanda tanya besar, apakah bisa tertanggulangi atau justru memperburuk situasi.
Ketiga, masih naiknya angka kasus positif Covid-19. Ini membuat Beijing Kembali
lockdown, meski kami percaya China bisa mengatasi dengan baik, melihat
track record penyelesaian pandemi di Wuhan. Cepat atau lambat, vaksin akan semakin efektif karena dikembangkan terus-menerus. Bukan hanya berangan-angan. Saat ini kita melihat Tiongkok dari
fear berubah menjadi
freedom, dengan kondisi
new normal yang baru dan juga perekonomian yang semakin pesat bertumbuh. Bukan tidak mungkin negara lain, termasuk Indonesia, akan segera menyusul. Hal ini menjadi hal positif bagi Indonesia, karena pilihan emiten yang berpotensi mengalami
recovery masih banyak.
Jadi, untuk investasi jangka panjang, investor masih
hold saham-saham yang sudah dibeli sejak Maret–Oktober 2020 ini. Meski demikian, pada Desember–Januari ini sebaiknya mulai batasi modal yang digunakan untuk membeli saham, baik untuk investasi maupun
trading. Sebaiknya rem dulu karena harga saham sudah naik tinggi. Jangan terus menambah modal. Demikian pula untuk
trader, mulai jaga level pembatasan risiko dan juga modal awal untuk
trading tidak terlalu besar. “
Be greedy when others are fearful, and be fearful when others greedy,” kata Buffett. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Harris Hadinata