KONTAN.CO.ID - Progresivitas kasus Myopia atau yang lebih dikenal dengan rabun jauh atau mata minus pada anak usia sekolah dilaporkan terus meningkat. Salah satu pemicunya adalah transformasi digital dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) yang massif dilakukan sejak pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Bahkan, para ahli memprediksi bahwa lebih dari 50% populasi di dunia akan mengalami Myopia pada 2050. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dunia kesehatan. Sebab, apabila pertumbuhannya tidak terkendali, Myopia bisa menyebabkan permasalahan mata yang lebih serius seperti katarak, glukoma, ablasi retina dan degenerasi macula di kemudian hari. Karena itu, intervensi dini terhadap Myopia menjadi hal mutlak dilakukan. Salah satunya dengan memberikan edukasi masif kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama orang tua, guru, tenaga kependidikan dan pelajarnya, tentang pentingnya mengelola Myopia pada anak, termasuk upaya deteksi dan intervensi dini.
Untuk memasifkan edukasi tentang bahaya Myopia jika tak terkendali tersebut, HOYA Vision Care, produsen lensa asal Jepang, secara berkelanjutan mengadakan kegiatan MiYOSMART Goes to School (MGTS). Sebagai informasi, MiYOSMART merupakan lensa kacamata terapi rabun jauh hasil inovasi HOYA yang sudah melewati uji klinis selama 6 tahun. Selain mampu mengoreksi dan menghadirkan penglihatan yang jelas, kelebihan dari lensa kacamata terapi MiYOSMART adalah dapat menahan pertumbuhan Myopia pada anak secara bersamaan. Pada tahun ini, MGTS dilakukan lebih masif dalam sebuah kegiatan memperingati Myopia Week yang digelar di sejumlah sekolah pada 13-19 Mei 2024. Managing Director HOYA Lens Indonesia, Dodi Rukminto mengatakan, Myopia Week bertujuan untuk menyebarkan informasi bahwa Myopia sedang berkembang dan mempengaruhi anak-anak di seluruh dunia, serta memberikan edukasi tentang opsi perawatan untuk menahan laju perkembangannya. “Melalui kegiatan yang sejalan dengan program MiYOSMART Goes to School ini, kita ingin menggerakan kepedulian orang tua terhadap kondisi kesehatan anaknya melalui pengecekan mata, edukasi kesehatan mata oleh para ahli, serta menginformasikan adanya opsi kontrol yang telah teruji klinis dan terbukti efektif menahan pertumbuhan Myopia rata-rata 60%, yaitu lensa kacamata terapi MiYOSMART,” kata Dodi. Dodi menjelaskan, pemeriksaan mata dilakukan karena terindikasi banyaknya anak yang menunjukkan gejala gangguan refraksi, khususnya Myopia, saat proses belajar mengajar di lingkungan sekolah dan hal ini dapat mengganggu hasil belajar siswa bersangkutan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan di berbagai sekolah pada 800 anak usia 5-15 tahun atau tingkat TK hingga SMP, 67% terdeteksi mengalami gangguan refraksi, dan 56% diantaranya merupakan Myopia. Dari jumlah tersebut, hanya kurang dari 50% yang telah dikoreksi atau mendapatkan penanganan berupa kacamata single vision. “Penggunaan lensa MiYOSMART membantu penglihatan dan juga menghambat perkembangan Myopia. Jadi, tidak benar kalau ada anggapan bahwa penggunaan kacamata justru memperparah Myopia,” kata Dodi. Dodi menambahkan, selain penggunaan lensa kacamata terapi MiYOSMART untuk mengendalikan Myopia, HOYA juga terus mengkampanyekan perubahan gaya hidup yang untuk mendukung kesehatan mata dan aktivitas luar ruangan yang sudah terbukti bisa menghambat pertumbuhan gangguan penglihatan ini. Selain itu, tambah Dodi, HOYA juga terus membangun kemitraan dengan sekolah-sekolah, para profesional perawatan mata dan optik dalam untuk mengkampanyekan kesehatan mata dan memerangi peningkatan kasus Myopia di kalangan anak-anak. Kesadaran Masyarakat Sementara itu, dokter spesialis mata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dr. Ratna Dewi Dwi Tanto, Sp.M mengaku prihatin dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap Myopia dan pentingnya pemeriksaan mata sejak dini. Padahal, pemeriksaan mata secara dini dan rutin dapat membantu mempercepat penanganan dan mengurangi kondisi Myopia yang diderita anak. Menurut dokter yang berkontribusi memberikan edukasi di Sekolah Santo Yakobus Jakarta Utara ini, banyak faktor yang menjadi alasan Myopia belum menjadi perhatian bersama, termasuk di lingkungan medis sekalipun, antara lain kurangnya pemahaman tentang risiko jangka panjang yang bisa menimbulkan penyakit mata serius seperti degenerasi makula atau retinal detachment, serta kebanyakan anak cenderung tidak mengeluhkan kelainan pandangannya yang buram. Disebutkan, masyarakat juga belum banyak yang mengetahui tentang opsi pengendalian Myopia yang efektif, seperti terapi kacamata khusus, lensa kontak, atau terapi farmakologis. Bahkan, katanya, di tengah masyarakat muncul persepsi bahawa Myopia adalah masalah kosmetik belaka yang dapat diatasi dengan kacamata atau lensa kontak, tanpa menyadari potensi konsekuensi jangka panjangnya. Bahkan, ada mitos yang sangat menyesatkan di beberapa kalangan masyarakat yang meyakini bahwa memakai kacamata pada usia dini adalah aib. Menurutnya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap Myopia bisa dilakukan dengan menggencarkan penyuluhan oleh berbagai pihak dari mulai pemerintah, lembaga kesehatan, hingga organisasi non-profit, memasukkan materi perawatan mata dalam mata pelajaran dan ekstrakulikuler sekolah, memberikan arahan kepada orang tua agar membatasi anaknya dari paparan layar elektronik, memperbanyak layanan kesehatan mata yang terjangkau, hingga penelitian dan pengembangan akademisi dan dunia medis. Karena itu, ia menyambut baik upaya-upaya penyadartahuan yang dilakukan berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Myopia dan pemeriksaan mata dini dan rutin, penggunaan kacamata atau lensa kontak yang sesuai, dan praktik gaya hidup sehat untuk menjaga kesehatan mata. “Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman tentang risiko yang terkait dengan Myopia serta opsi pengendalian yang tersedia, diharapkan bahwa perhatian terhadap masalah ini akan meningkat, termasuk di kalangan tenaga medis,” kata dr. Ratna Dewi.
Ia juga menyambut baik perkembangan inovasi dalam manajemen dan kontrol Myopia, termasuk kehadiran lensa kacamata terapi dari HOYA, MiYOSMART. Menurutnya, terobosan dalam teknologi kacamata, lensa kontak, terapi farmakologis, dan metode lainnya dapat membantu mengendalikan progresivitas Myopia, mencegah komplikasi yang terkait, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. “Saya berharap untuk melihat lebih banyak penelitian dan pengembangan dalam bidang ini untuk terus meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas solusi pengendalian Myopia,” tutupnya.
Baca Juga: MiYOSMART Goes to School, Deteksi Dini Myopia pada Anak Usia Sekolah Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti