KONTAN.CO.ID - Meski menghabiskan banyak uang di awal, keputusan Atik Chandra berbisnis pupuk organik cair berbuah sangat manis. Padahal, saat memulai usaha dengan merek dagang ExtraGen, dia sampai “berdarah-darah”. Bagaimana tidak? Perempuan kelahiran Medan ini mesti menyedot dana dari tiga bisnisnya yang lain untuk menggulirkan usaha pupuk organik cair. “Semua saya ambil dananya buat injeksi ke pupuk,” kata Atik yang sebelumnya punya bisnis biro perjalanan, tanaman herbal, dan distributor beberapa merek suplemen kesehatan luar negeri. Maklum, ia harus melakukan riset untuk membuat pupuk organik cair yang menelan biaya tidak sedikit. Dan, lantaran pupuk organik belum populer di tanah air, dia kudu melakukan
demonstration plot (demplot) atawa penyuluhan pertanian kepada petani di beberapa daerah dengan membuat lahan percontohan. Tentu, cara ini pun memakan banyak biaya.
Kini, usaha pupuknya berkembang pesat. Di bawah bendera PT Indoraya Mitra Persada 168, Atik memproduksi sekitar 500 ton pupuk organik cair pada tahun lalu. “Tahun ini targetnya kami menyuplai untuk 300.000 hektare (ha) lahan pertanian, butuh sekitar 600 ton,” ujar wanita yang 15 Maret lalu genap berusia 43 tahun ini. Sayangnya, ia menolak buka-bukan soal omzet bisnisnya per bulan. Yang terang, dia menyebutkan, harga jual pupuk organik cair ExtraGen di pasaran Rp 100.000 seliter. Dan, kapasitas pabriknya yang ada di Yogyakarta seluas 4.000 m² mencapai 900 ton per tahun. Sebelum pupuk, Atik memulai perjalanan bisnisnya dengan membangun usaha biro perjalanan. Lalu, temannya mengajak dia berbisnis pemasok tanaman herbal pada 2000. Misalnya, kulit manggis yang kemudian diolah menjadi ekstrak untuk bahan baku suplemen kesehatan. “Pasarnya ekspor, yakni Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa,” imbuh alumni jurusan manajemen sebuah perguruan tinggi di Indonesia ini. Dari bisnis tanaman herbal ini, ia lalu mendapat kepercayaan menjadi distributor beberapa merek suplemen kesehatan dari luar negeri. Dia memasoknya ke jaringan apotek, seperti Century dan Guardian. Secara komersial Pada tahun 2005, bisnis tanaman herbal Atik mulai menemui masalah. Pembeli menolak sebagian produknya karena kandungan kimianya terlalu tinggi. Ini akibat penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan sebagai penyubur tanaman. Nah, berangkat dari penolakan itu, ia berencana memproduksi tanaman herbal secara organik alias bebas dari pupuk kimia, termasuk membikin pupuk organik sendiri. Dia pun belajar teknologi pembuatan pupuk organik ke beberapa negara, mulai Malaysia, Thailand, Korea Selatan, hingga Jepang. “Saya terpikir untuk ambil teknologi Jepang. Tapi setelah diskusi panjang internal kami, saya rasa tidak cocok diterapkan di Indonesia,” ungkapnya. Akhirnya, Atik memutuskan membuat pupuk organik dari tanaman herbal. Ia dan tim melakukan riset, untuk mencari tanaman herbal yang cocok sebagai bahan baku pupuk organik. Hasilnya, mereka menemukan beberapa tanaman asli Indonesia yang pas buat pupuk. Kenapa pilih pupuk organik cair? Soalnya, menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman herbal masih segar. Lewat proses ekstrak, Atik mengambil airnya. Lalu, tanaman herbal juga menghasilkan mikroorganisme hidup. “Jadi, kalau kami jadikan pupuk kering berupa bubuk, kami khawatir organisme baik itu ada yang hilang,” jelasnya. Setelah pupuk organik cair jadi, Atik melakukan demplot ke petani di sejumlah daerah yang selama ini jadi mitra. Ternyata, hasil demplot memuaskan. Panen petani meningkat dan biaya pupuk berkurang drastis, sampai 50%. Sebab, pemakaian pupuk organik cair jauh lebih sedikit ketimbang pupuk anorganik untuk luas lahan pertanian yang sama. Bermodal hasil tersebut, muncul ide untuk mengembangkan pupuk tersebut secara komersial. Ia pun kembali melakukan riset dengan menggandeng balai-balai pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian di beberapa daerah. Pasalnya, dia ingin pupuk organik cair buatannya bisa juga untuk tanaman lain, seperti padi dan kelapa sawit. “Mungkin, kami yang pertama di Indonesia dengan teknologi ini,” kata Atik bangga. Informasi saja, ExtraGen sudah mengantongi sertifikasi dari AS, Uni Eropa, dan Jepang. Mulai tahun 2006, setelah semua aspek legalitas, mulai izin edar hingga hak kekayaan intelektual (HaKI), kelar, Atik memproduksi pupuk organik cair secara komersial. Pabriknya di Yogyakarta. Awalnya ia masih menyewa lahan, tapi kemudian dia membeli lahan di lokasi berbeda untuk pabrik. Cuma mulanya, tak mudah baginya untuk memasarkan ExtraGen, meski banyak cerita sukses dari petani mitra yang menggunakan pupuk organik cair buatan Atik. Selain pupuk organik belum terlalu populer, banyak petani lebih memilih pakai pupuk kimia bersubsidi dari pemerintah. Tadinya, berbekal kesuksesan penggunaan ExtraGen pada para petani mitra, ia optimistis, bisa menjual produk pupuknya dengan mudah. “Tapi ternyata, setelah dijalani, jalanannya terjal sekali, ya,” ujar dia. Itu sebabnya, Atik mendekati badan usaha milik negara (BUMN) di bidang perkebunan. Pada 2008, ia berhasil menjalin kongsi dengan tiga PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Salah satunya PTPN VII yang memiliki lahan sawit di Lampung. Cuma, kerjasama ini berakhir pada 2016. Sayangnya, dia menolak mengungkap alasannya. Merambah ekspor Meski sudah memiliki pelanggan besar, Atik tetap menjadikan petani sebagai target pasar utama ExtraGen. Salah satu strateginya adalah bekerjasama dengan Kementerian Pertanian (Kemtan). “Mereka kan punya daftar pupuk yang mendapat subsidi pemerintah, tapi bukan merek melainkan kandungannya,” katanya. Petani bebas memilih pupuk merek apa saja, asalkan kandungannya sesuai dengan yang ada di daftar tersebut. “Nah, pupuk kami masuk ke situ. Jadi, petani bisa beli pupuk kami dengan harga yang disubsidi pemerintah,” imbuh Atik. Tentu, ia melakukan edukasi terlebih dulu bersama Kemtan. Dengan begitu, para petani mau menggunakan pupuk organik, terutama ExtraGen. Untuk menjaring lebih banyak lagi petani, dia kembali menjalankan lagi strategi demplot, dengan membentuk ExtraGen Club di sembilan provinsi pada 2012. Total luas lahan pertaniannya sekitar 200 ha. Lewat ExtraGen Club, para petani yang tergabung di komunitas ini tidak perlu membayar pupuk organik cair di awal. Mereka bisa membayarnya usai menjual hasil panen. Tapi, Atik mengungkapkan, tidak semua petani membayar pupuk. Menurutnya, ada beberapa petani yang di tengah jalan menerima tawaran dari tengkulak. “Jadi, walau hasil panennya meningkat, dia enggak dapat apa-apa. Karena kan, saat kesepakatan dengan tengkulak dianggapnya panen biasa saja, padahal hasilnya berlipat-lipat dari biasa,” beber dia. Akhirnya, para petani tersebut tidak bisa membayar pupuk. “Ya, sudah elus dada saja, deh, saya,” ungkap Atik. Tetapi, ia tidak patah arang. Atik terus melakukan edukasi ke petani hingga mereka tak lagi menjual ke tengkulak sebelum panen tiba. Alhasil, permintaan ExtraGen terus menanjak, sekalipun kerjasama dengan PTPN berakhir. Apalagi pada 2018, PT Pupuk Kaltim mengajak Atik berkongsi. “Awalnya mereka cari-cari siapa produsen pupuk organik, ketemu saya dan jadilah kami bermitra. Produk kami bisa didapatkan di seluruh agen di bawah mereka,” jelasnya. Selain di dalam negeri, ExtraGen juga merambah pasar ekspor, walau belum besar. Hanya sebetulnya, Atik mendapat tawaran dari Malaysia untuk memasok 100 ton per bulan. “Tapi saya tolak karena disuruh jelaskan proses produksinya seperti apa, harus rinci,” kata dia.
Sebelumnya, pernah ada tawaran dari Malaysia untuk membuka pabrik di negara mereka. “Jadi ibaratnya, saya disuruh jual teknologi ke mereka. Tentu, saya tidak mau, dong. Cukup hasilnya saja yang diekspor ke sana,” tegas Atik. Ke depan, ia ingin memasarkan pestisida organik hasil risetnya dua tahun lalu dan sudah diujicoba. Saat ini, dia sedang mengurus izin edarnya. Untuk HaKI, sudah ada di tangannya. Atik memproduksi pestisida organik lantaran tanaman pangan dan hortikultura rentan hama. “Kalau pupuk sudah organik, pestisida juga, dong. Jadi harapan saya, apa yang bangsa Indonesia konsumsi, semuanya organik,” ujar Atik yang kini fokus mengurus bisnis pupuk. Sementara usaha lain ia serahkan ke mitra bisnisnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan