Perjanjian kontrak listrik 35.000 MW hampir selesai



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengklaim proses perjanjian proyek kelistrikan 35.000 Megawatt (MW) hampir rampung. PLN menyebut, hampir seluruh perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) bagi perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) di megaproyek 35.000 MW sudah diteken.

Dengan selesainya PPA, kualifikasi lelang pembangkit listrik tidak ada lagi. Direktur Perencanaan Korporat PLN, Syofvi Felienty Roekman menjelaskan, kualifikasi lelang pembangkit tak ada lagi karena PPA di megaproyek 35.000 MW yang merupakan jatah IPP sebesar 25.000 MW sudah dilakukan. "PPA untuk IPP sudah mulai habis, yang tersisa punya PLN," terang dia, saat ditemui di Kantor PLN Pusat, Selasa (10/7).

Hingga semester I-2018, pembangkit yang sudah beroperasi di megaproyek 35.000 MW mencapai 8.500-an MW.


Direktur Pengadaan Strategis PLN, Supangkat Iwan Santoso menambahkan, selama semester I-2018, pembangkit listrik bagian dari program 35.000 MW yang telah beroperasi mencapai 2.000 MW. Sementara target pengoperasian pembangkit pada tahun ini 4.000 MW. "Kami ada tambahan (pasokan listrik) 2.400 MW sampai Juni," kata dia.

Supangkat menyebutkan, jenis pembangkit yang beroprasi antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).  "Itu ada PLTU di luar Jawa, macam-macam PLTU, PLTMG Priok sudah beroperasi kira-kira satu unit 250 MW," imbuh dia.

PLN memastikan tambahan pasokan listrik akan lebih banyak pada tahun depan, karena  pembangkit dari program 35.000 MW sudah lebih banyak yang beroperasi. Hanya saja ia memastikan tidak seluruhnya 35.000 MW beroperasi tahun depan, hal itu lantaran menyesuaikan kebutuhan masyarakat atas listrik.

Untuk tahun depan, pembangkit yang siap beroperasi antara lain PLTU Jawa 7 berkapasitas 2.000 MW, PLTU Cilacap 1.000 MW. "Itu saja sudah 3.000 MW, belum lagi nanti yang masuk juga itu combine cycle masuk semua. Tapi tidak sampai 35.000 MW,” tandas Supangkat.

Sementara itu, Juru Bicara Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary mengatakan, meskipun PPA sudah hampir selesai, keluhan yang masuk masih banyak. Utamanya berkaitan dengan financial closing, bagi pengembang Energi Baru Terbarukan (EBT), untuk mencapai tahap financial closing itu masih berat. "Itu tidak hanya pembangkit yang masuk 35.000 MW, yang di  luar juga banyak," ungkap dia.

Rizal mengemukakan, APLSI mengira kepercayaan lembaga keuangan belum cukup kuat kepada regulator. Itu karena aturan yang diterbitkan oleh pemerintah sering kali berubah-ubah. "Persoalan kedua, soal tarif EBT yang mungkin dinilai kurang menarik, makanya hal itu bisa memperlambat penyelesaian financial closing," imbuh dia.

Menurut Rizal, investasi di EBT sempat mengalami tren positif. Pada 2014 silam, investasi EBT mencapai Rp 8,63 triliun. Kemudian naik menjadi Rp 13,96 triliun pada 2015. Puncaknya pada 2016 mencapai Rp 21,25 triliun. “Setelah itu menurun lagi,” ucap dia.

Salah satu penyebab adalah harga jual lisrik diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 50/2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan yang dinilai tidak menarik. Di aturan tersebut, harga jual maksimal hanya 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah. Padahal sebelumnya bisa mencapai 115% dari BPP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati