Perkembangan Brexit dan The Fed akan menekan rupiah hingga akhir Juli



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak tekanan dari sentimen global, kurs rupiah diprediksi masih berada dalam tren pelemahan. Sentimen utama berasal datang dari kondisi di Inggris usai Boris Johnson terpilih sebagai perdana menteri yang baru dan menanti keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed terkait rencana pemangkasan suku bunga acuannya di Juli 2019. 

Kurs rupiah Rabu (24/7) kurs rupiah Rabu (24/7) ditutup di level Rp 13.997 per dollar AS atau koreksi tipis 0,08% dari sehari sebelumnya. 

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, dua kondisi tersebut bakal menjadi sentimen utama penggerak rupiah hingga akhir Juli 2019. Mulai dari terpilihnya Boris, membuat pelaku pasar mengantisipasi kebijakan yang akan dibuat pejabat anti Brexit, usai dirinya dilantik nanti. 


Sedangkan dari The Fed, sinyal pemangkasan suku bunga acuan secara agresif mulai berkurang. Ini dikarenakan banyaknya data positif ekonomi AS yang membuat pasar beranggapan potensi penurunan agresif FFR berkurang, dari 50 bps menjadi 25 bps.

"Dua sentimen ini akan berpengaruh pada pergerakan rupiah. Adapun yang membuat pelemahan rupiah tertahan, yakni kabar bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) bakal pangkas suku bunga acuannya di September sebanyak 10bps," kata Ibrahim, Rabu (24/7). 

Di sisi lain, pergerakan rupiah cenderung volatile, dibandingkan pergerakan kurs mata uang regional, kurs rupiah paling cepat menguat dan juga koreksi. Ibrahim menilai, pergerakan yang cepat tersebut lebih dikarenakan spekulasi kenaikan suku bunga acuan di pasar. 

Ibrahim optimistis bahwa fundamental rupiah saat ini masih cukup baik. Meskipun, Ibrahim mengatakan dalam transaksi pasar modal hampir 75% merupakan dana asing sehingga sangat berpengaruh terhadap keluar masuknya dana. 

Hingga akhir Juli 2019, Ibrahim memperkirakan kurs rupiah bakal bergerak di kisaran Rp 13.885 per dollar AS hingga Rp 14.100 per dollar AS. Sehingga, tren pergerakan rupiah terhadap dollar AS hingga akhir Juli 2019 masih cenderung terdepresiasi, karena sentimen Brexit yang belum selesai dan menanti keputusan The Fed.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi