Perkuat Deteksi Resistensi Antimikroba



KONTAN.CO.ID - Kehadiran Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (Stranas AMR) Sektor Kesehatan 2025-2029 di Indonesia diharapkan semakin meningkatkan deteksi resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Hal ini sejalan dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni memperkuat pengawasan dan pemantauan resistensi antimikroba sangat penting dilakukan.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Azhar Jaya, SH, SKM, MARS menyampaikan, Stranas AMR berupa paket inti yang terdiri atas 3 landasan, 4 pilar, 14 intervensi, 41 tindakan prioritas, dan 103 kegiatan.

“Semuanya itu bermuara pada output (tujuan), yaitu menurunkan dan memperlambat munculnya AMR serta menurunkan angka morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) akibat infeksi AMR di Indonesia,” ujar Azhar di Jakarta, Jumat (23/8).


Ada beberapa tujuan utama yang ingin dicapai dengan Stranas AMR. Pertama, adanya sistem pemantauan yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mendeteksi dan melaporkan kejadian resistensi antimikroba di rumah sakit dan komunitas.

“Kedua, penggunaan antibiotik yang lebih rasional di rumah sakit dan masyarakat. Dengan penurunan angka resep antibiotik yang tidak tepat dan edukasi penggunaan obat, khususnya antibiotik di masyarakat,” kata Azhar.

“Ketiga, pengurangan kasus resistensi antimikroba melalui penerapan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). Keempat, meningkatnya pemahaman pasien dan masyarakat tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang sesuai.”

Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Sektor Kesehatan 2025-2029 bukan berisi pengaturan sebagaimana regulasi yang ada saat ini, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021.

Namun, strategi nasional ini adalah rencana atau pendekatan komprehensif pengendalian AMR bidang kesehatan manusia yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan bersama dengan kementerian/lembaga lain.

“Sehingga, mengarahkan berbagai tindakan untuk mengatasi isu global AMR secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu pada tingkat nasional yang akan dilakukan tahun 2025-2029. Pelibatan kementerian/lembaga lain terkait dalam penyusunan Stranas AMR tidak bisa dilepaskan karena saling terkait dalam pengendalian AMR sektor manusia,” pungkas Azhar Jaya.

Pendekatan One Health hingga Edukasi

Menurut Dirjen Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya, Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Sektor Kesehatan 2025-2029 disusun berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berjudul “People-centred approach to addressing antimicrobial resistance in human health”, atau pendekatan berbasis masyarakat untuk mengatasi resistensi antimikroba pada manusia, yang diterbitkan pada 2023.

“Stranas ini dimodifikasi, yaitu dengan penambahan sistem evaluasi eksternal sebagai landasan dalam pengendalian resistensi antimikroba. Tingkat implementasi pendekatan People-centred approach mulai dari tingkat masyarakat, tingkat layanan primer, dan tingkat layanan rujukan dengan menyediakan intervensi berbasis bukti,” terangnya.

Azhar mengungkapkan poin-poin utama dalam Stranas Pengendalian Resistensi Antimikroba Sektor Kesehatan 2025-2029, sebagai berikut: a. Pendekatan One Health: Meski untuk sektor kesehatan manusia, Stranas AMR menekankan pendekatan lintas sektor, yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengatasi resistensi antimikroba secara holistik. b. Penguatan Kapasitas Laboratorium: Fokus pada peningkatan kapasitas laboratorium kesehatan di seluruh Indonesia untuk mendeteksi dan memantau resistensi antimikroba lebih efektif. c. Penggunaan Antibiotik yang Bijak: Promosi penggunaan antibiotik yang bijak di semua sektor, termasuk pengendalian penggunaan antibiotik pada hewan ternak dan perikanan. d. Peningkatan Edukasi dan Kesadaran Publik: Sosialisasi kepada masyarakat yang lebih intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya resistensi antimikroba. e. Keterlibatan Aktif Pemangku Kepentingan terkait: Meningkatkan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, baik sektor swasta, akademisi maupun masyarakat dalam pengendalian AMR.

Butuh Komitmen Kuat Di sisi lain, regulasi pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia dinilai sudah cukup baik dan komprehensif, khususnya kebijakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik.

“Akan tetapi, dibutuhkan pembinaan dan pengawasan pada tataran implementasi yang dimulai dari sosialisasi kebijakan/peraturan dimaksud. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, pemerintah daerah dan pimpinan rumah sakit dalam melakukan penerapan pengendalian AMR di tingkat pusat, daerah, dan di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba,” jelas Azhar Jaya.

“Tahapan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap implementasi PPRA telah masuk dalam kegiatan Stranas AMR 2025 – 2029.”

Berdasarkan laporan “Global antimicrobial resistance and use surveillance system (‎GLASS)” tahun 2022 yang diterbitkan WHO, diperkirakan terdapat 4,95 juta kematian terkait dengan resistensi antibiotik bakteri, mencakup 1,27 juta kematian yang disebabkan oleh AMR bakteri pada 2019.

Penggunaan antibiotik yang berlebihan atau penyalahgunaan antibiotik adalah penyebab utama AMR. Tingkat kejadian resistensi antimikroba yang lebih tinggi pun telah tercatat di beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah dibanding negara-negara berpenghasilan tinggi.

Selain kematian, World Bank memperkirakan, AMR dapat mengakibatkan tambahan biaya layanan kesehatan sebesar 1 triliun dolar AS pada 2050 dan kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar 1 triliun dolar AS hingga 3,4 triliun dolar AS per tahun pada 2030.

Baca Juga: Tiga Kasus Baru MPOX di Dunia, Dua di Antaranya Clade Ib

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti