KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang melanda sejak tahun lalu membuat kemampuan bank mencetak laba bersih tersendat. Kondisi itu membuat ruang pembentukan modal perbankan tidak seagresif tahun-tahun sebelumnya. Alhasil, beberapa bank berencana untuk memperkuat permodalan lewat penerbitan surat utang. Salah satunya PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang telah menyelesaikan proses penjajakan pasar (
roadshow) serta
pricing terkait penerbitan surat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dalam bentuk tier 2 subordinated notes atau subdebt senilai US$ 500 juta. Perbankan pelat merah tersebut akan menerbitkan surat utang tersebut dengan bunga sebesar 3,75% per tahun untuk tenor 5 tahun.
Pada saat diterbitkan, tier 2 Subordinated Notes akan menjadi penerbitan pertama yang BNI lakukan berdasarkan program Euro Medium Term Note (Program EMTN) yang dibentuk pada tanggal 6 Mei 2020 sebagaimana telah diperbaharui pada tanggal 22 Maret 2021. Berdasarkan Program EMTN, BNI dapat menerbitkan surat utang secara bertahap dengan jumlah pokok sebanyak-banyaknya sebesar US$ 2 miliar. Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengatakan, surat utang ini utamanya akan dipakai untuk memperkuat struktur permodalan. Aksi korporasi ini menurutnya juga sesuai dengan rencana bisnis bank (RBB) perusahaan untuk mendorong
capital adequacy ratio (CAR) di kisaran 17%-18%. "Modal terbantu dengan subdebt. Kalau tidak pakai subdebt CAR ada di kisaran 16%," kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (5/4).
Baca Juga: Pertumbuhan pendapatan BBNI diprediksi hingga 12% tahun ini, ini rekomendasi sahamnya Novita menyebut, BNI juga mengandalkan penambahan modal lewat pemupukan laba tahun 2021. Sekadar informasi saja, berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Bank BNI sepakat membagi dividen sebesar 25% dari total laba besih tahun 2020 yang mencapai Rp 820,1 miliar. Sementara sisa laba di tahun 2020 sebesar Rp 2,46 triliun akan digunakan sebagai saldo laba ditahan. Adapun, tahun lalu BNI membukukan laba bersih konsolidasi senilai Rp 3,3 triliun atau turun 78,54% dari tahun 2019 yang mencapai Rp 15,38 triliun. Di sisi lain, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) justru mengatakan pihaknya belum punya rencana penambahan modal lewat penerbitan surat utang tahun ini. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto bilang, sampai saat ini posisi CAR BRI masih ada di atas 18%. Posisi tersebut menurut perusahaan masih jauh di atas ketentuan regulator sebesar 12% dan lebih tinggi dari
risk appetite statement (RAS) perseroan yakni 17%. "Kondisi tersebut memberikan ruang bagi perseroan untuk tumbuh, baik secara organik maupun anorganik," katanya. Akan tetapi, bank terbesar di Indonesia dari segi aset ini mengatakan pihaknya tetap menyediakan ruang untuk pendanaan non DPK pada rencana bisnis bank (RBB) tahun 2021. Instrumennya pun bisa bermacam-macam mulai dari penerbitan obligasi maupun pinjaman. Namun, seluruh rencana tersebut sangat bergantung pada kondisi likuiditas dan pasar keuangan dalam negeri.
Catatan saja, dalam RUPST belum lama ini, BRI mengumumkan akan membagikan dividen senilai Rp 12,12 triliun. Jumlah tersebut merupakan 65% dari laba bersih konsolidasi perusahaan tahun 2020 sebesar Rp 18,65 triliun. Sementara sisanya sebesar 35% atau senilai Rp 6,5 triliun dari total laba akan digunakan sebagai saldo laba ditahan. Senada dengan Bank BRI, PT Bank Panin Tbk juga belum punya rencana penambahan modal dalam waktu dekat. Wajar saja, Presiden Direktur Bank Panin Herwidayatmo menjelaskan per akhir 2020 lalu posisi CAR Bank Panin ada di level 29,58%. Angka tersebut bahkan meningkat dari periode setahun sebelumnya yang sebesar 23,41%. "Permodalan Bank Panin sampai saat ini masih cukup kuat," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari